BANDUNG, KOMPAS.com - Balasan senyuman menjadi bayaran bagi siapa pun yang menyisihkan uang receh untuk Sukirman.
Meski tak semua pengendara motor atau mobil memberi uang, pria berusia 59 tahun itu tetap ramah;
senyum serta lontaran kalimat "nuhun" (terima kasih) pasti diucapkannya tanpa pandang bulu.
Hal itu dilakukannya hampir 25 tahun, selama menjaga pintu palang perlintasan kereta api di Perlintasan Rel Jalan Walini, Desa Bojongloa, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Baca juga: Rel Jadi Rumah, Cemas dan Harap Warga di Tengah Rencana Reaktivasi Kereta Bandung–Ciwidey
Panas terik matahari dan gersangnya suasana tak membuat pria paruh baya itu kalah.
Dua dasawarsa lebih dia menikmati profesi sebagai penjaga pintu perlintasan kereta.
"Saya di sini sejak tahun 2000. Dulu situasinya enggak kaya gini, tanah masih merah, masih banyak sawah, tetapi memang lintasan kereta sudah ada," katanya ditemui di sela-sela kegiatannya, Selasa (27/5/2025).
Sebelum memilih menjadi petugas penjaga palang pintu kereta, beberapa pekerjaan pernah dilakukan Sukirman, mulai dari tim cek lapangan di perusahaan ternama, hingga menjadi pekerja konstruksi.
Kendati menjadi penjaga palang perlintasan kereta sempat tak dibayar negara, tetapi Sukirman tetap ikhlas menjalani profesi.
"Leutik eweuh gede ulah tinggaleun (Rezeki besar belum ada, jadi yang kecil jangan ketinggalan)," ujarnya sambil tersenyum.
Baca juga: Pekerja Proyek Rel Tewas Tertabrak Kereta Api, Korban Sedang Mengambil Air Minum
Suara genta dari arah Stasiun Cicalengka berbunyi, lampu sinyal di rel berganti warna.
Sukirman langsung melangkah ke jalan untuk memberi tanda kendaraan yang melintas agar mempercepat lajunya.
Setelahnya, ia mesti menutup palang kereta berbahan bambu yang dibuatnya sejak lama.
Sesekali ia mengangkat tangan untuk memastikan kendaraan dari arah berlawanan berhenti.
Perjalanannya menjaga pintu perlintasan berawal dari ajakan Abah Uko, kerabat yang jauh lebih tua darinya.