Editor
BANDUNG, KOMPAS.com – Para pelaku usaha restoran di Bandung mencari alternatif lain untuk menghindari royalti musik. Mereka tak ingin apa yang dialami Mie Gacoan di Bali menimpa mereka.
Seperti diketahui, Mie Gacoan akhirnya membayar Rp 2,2 miliar ke Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) karena diduga tidak membayar royalti sejak 2022.
Salah satu restoran yang mencari alternatif agar tetap bisa menjaga suasana tanpa melanggar aturan di antaranya Restoran Tempayan dan Hutanika.
Ada yang memanfaatkan kecerdasan buatan untuk menciptakan lagu sendiri, ada juga yang sekadar memutar suara burung peliharaan sebagai latar.
Baca juga: Sopir Angkutan di Aceh Keberatan Bayar Royalti Musik: Kami Udah Susah
Restoran Tempayan Indonesian Bistro di Jalan Citarum memilih berhenti memutar musik berlisensi. General Manager Marketing & Sales Tempayan, Agung Setiadi, mengatakan keputusan ini diambil setelah menerima surat somasi dari LMK.
“Kita tiba-tiba dapat surat peringatan, tanpa ada sosialisasi sebelumnya. Akhirnya manajemen memutuskan untuk bikin lagu sendiri saja pakai AI,” ujar Agung dikutip dari Tribun Jabar, Selasa (19/8/2025).
Kini, Tempayan memanfaatkan aplikasi Suno AI untuk membuat lagu orisinal.
“Kita bikin lagu sendiri, bahkan ada kata makanan juga tempayan dalam liriknya. Saat ini kami bikin playlist kurang lebih 80 lagu jadi orisinal, tidak perlu lagi bayar royalti ke siapa-siapa,” ucap Agung.
Agung menambahkan, biaya yang dikeluarkan jauh lebih ringan. Tempayan kini hanya mengeluarkan Rp 2,8 juta per tahun untuk berlangganan Suno AI, dibandingkan sebelumnya harus membayar Spotify Rp 89.000 per outlet per bulan untuk 16 outlet.
“Jadi biayanya jauh lebih ringan dan kita tetap bisa jaga ambience restoran,” katanya.
Baca juga: Soal Royalti Musik Saat Hotel Lesu, Pengusaha Aceh Minta Ditinjau Ulang
Restoran Hutanika di Jalan Asia Afrika justru memilih cara berbeda.
Adit, Head of Sales & Marketing Hutanika, mengaku bingung dengan aturan royalti karena meski menggunakan platform berbayar seperti Spotify dan YouTube, pihaknya tetap menerima surat peringatan.
“Hitungannya beda-beda, ada kafe bayar segini, bar bayar segitu. Kita juga jadi bingung, apalagi enggak setiap hari restoran penuh. Kapasitas kita bisa sampai 300 orang, tapi itu pun fluktuatif,” katanya.
Lebih membingungkan lagi, kata Adit, informasi yang ia terima menyebutkan bahwa semua jenis musik bisa dikenai royalti, termasuk musik bebas hak cipta hingga suara alam.
“Katanya muter suara burung juga kena. Padahal itu suara burung dari YouTube. Akhirnya, kita rekam sendiri suara burung peliharaan owner, terus diputar di restoran,” ujarnya.