Editor
BANDUNG, KOMPAS.com - Bandung Design Biennale (BDB) kembali digelar pada 3–25 Oktober 2025 di Tamansari Laswi City, eks Gudang PT KAI, Jalan Sukabumi.
Ajang dua tahunan ini menghadirkan beragam karya desainer dan inovator yang tak hanya menonjolkan estetika seperti festival cahaya, tetapi juga menjadikan desain sebagai medium kritik sosial.
Kurator BDB 2025, Prananda L Malasan, menekankan bahwa karya yang ditampilkan banyak terinspirasi dari warisan masa lalu, namun tetap relevan dengan perkembangan masa kini.
“Misalkan ada konsep desain tentang cilok (camilan khas Bandung), tapi mungkin ada desainer atau inovator yang bisa menyajikan hal berbeda dari cilok pada umumnya. Jadi yang penting adalah bagaimana kita melihat ke depan,” ujar Prananda dalam rilisnya, Jumat (3/10/2025).
Baca juga: Merawat Ingatan Tragedi Kanjuruhan, Mahasiswa FIB UB Gelar Pameran Seni Gugat Impunitas
Tidak semua desain harus berwujud indah. Sejumlah peserta menampilkan karya yang bersifat reflektif sekaligus kritis terhadap kondisi sosial. Salah satunya menyoroti keberadaan billboard di Bandung yang dianggap merusak estetika kota.
“Jadi itu sebenarnya akan sangat direpresentasikan oleh teman-teman Bandung, karena topiknya adalah menetap, gelap. Sebenarnya itu berangkat dari kritik ketidakteraturannya perencanaan kota Bandung ini. Jadi itu sebenarnya dari keresahan kita ya,” kata Prananda.
Isu lain yang diangkat datang dari warga sekitar Sukamiskin, yang menghadirkan karya bertema penjara sebagai pengingat bahwa desain tidak sebatas pada keindahan visual, melainkan juga sarana menyuarakan pengalaman hidup.
Baca juga: Ritus Negeri Celeng, Kritik Sosial dalam Balutan Tari Kontemporer Indonesia-Jerman di Surabaya
Prananda menilai desain kini tak lagi hanya berfungsi untuk mempercantik atau menunjang pembangunan, tetapi bisa hadir sebagai bentuk kritik.
“Yang tadinya desain itu adalah stimulan untuk pembangunan, kepentingan penguasa gitu ya misalkan, tapi sekarang malah desain sebagai bentuk kritik untuk mempunyai pemikiran-pemikiran baru gitu,” ucapnya.
BDB tahun ini pun digelar secara mandiri, meski tidak menutup kemungkinan adanya dukungan infrastruktur dari pemerintah.
Ketua Pelaksana BDB 2025, Budi Dwi Rahmady, menjelaskan bahwa acara ini mendapat dukungan logistik dari JNE, mulai dari instalasi karya, proyektor, merchandise, hingga ikon pameran berupa balon paus karya Arkiv Vilmansa berjudul Widya Segara.
“Kami berharap acara ini dapat berjalan dengan sukses dan memberikan pengalaman serta inspirasi bagi masyarakat. Semangat yang kita hadirkan yakni ‘Tumbuh ke Atas’, agar Bandung relevan dengan tren global, dan ‘Tumbuh ke Bawah’, berakar pada identitas lokal,” kata Budi.
Selama 23 hari penyelenggaraan, BDB menghadirkan beragam program utama.
Yakni BDG Lights ’25 bertema Menata Gelap, pameran arsip desain Ourchetype x BDB 25, pasar kreatif Design Mart: Spectrum of Design, forum diskusi Idea to Invention, hingga pertemuan jejaring kota kreatif UNESCO bidang desain.
Selain itu, ada pula acara penutupan bertajuk Back to Nature di Lembah Riang pada 25 Oktober, yang menggabungkan kegiatan berkemah ringan dan yoga untuk merayakan keterhubungan manusia, kreativitas, dan alam.
Sebagai bentuk dukungan pada keberagaman, JNE juga menampilkan karya bersama Tab Space, studio desain beranggotakan seniman neurodivergen dan penyandang disabilitas.
“Iini merupakan dukungan kepada industri kreatif dan desain di Indonesia,” kata Iyus Rustandi, Kepala Cabang JNE Bandung.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang