CIANJUR, KOMPAS.com - Ramadhan tinggal hitungan hari, umat Islam bersiap menyambut ibadah puasa selama sebulan penuh.
Warga di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, menggelar tradisi Papajar, yakni pesta makan bersama sebagai perpisahan makan pada siang hari setiap jelang Ramadhan.
Tradisi ini sudah berlangsung selama turun temurun, biasanya dilakukan anggota keluarga, kerabat dan handai taulan atau warga di satu lingkungan.
Baca juga: Laris Manis Penjualan Kurma Menjelang Ramadhan di Pasar Tanah Abang, Kurma Sukari Paling Dicari
Namun, Papajar kali ini terasa berbeda karena digelar di area Vihara Bhumi Pharsjia Cianjur.
Kegiatan yang digagas Nasi Kuning Babah Alun ini menghadirkan nuansa keberagaman etnis dan semangat toleransi antar umat beragama.
Warga yang datang bisa menikmati aneka makanan dan jajanan, seperti nasi kuning, nasi ayam, bubur ayam, bakso, kudapan, termasuk periksa kesehatan.
Semuanya dibanderol hanya Rp 3.000.
“Seru juga dapat nuansa berbeda papajarnya kali ini. Dari berbagai kalangan, ya. Makanannya juga murah dan enak-enak,” ucap Liliana (28), seorang pengunjung kepada Kompas.com, Sabtu (9/3/2024).
Baca juga: Tradisi Ntek Dulang Ko Masjid dan Mangan Rowa Jelang Ramadhan di Sumbawa
Warga Karangtengah Cianjur ini mengaku selalu menggelar tradisi Papajar setiap jelang bulan puasa. Biasanya “botram” bersama keluarga di rumah atau di tempat wisata.
“Dikasih tahu ada papajar di Kelenteng. Jadi, penasaran makanya ke sini tadi,” ujar dia.
Jusuf Hamka, pendiri Nasi Kuning Babah Alun yang turut hadir dalam acara ini mengaku kagum dengan keberagaman yang ditunjukkan warga Cianjur.
“Semua berkumpul ya, umat kristiani, tionghoa, muslim. Kelenteng bisa ikut berpartisipasi, gereja juga. Saya iri sama Cianjur, Indonesia harus seperti Cianjur yang tidak membeda-bedakan,” kata Jusuf di sela acara, Sabtu.
Disebutkan, makanan yang dijajakan berasal dari pedagang kaki lima dan pelaku UMKM. Tujuannya, selain memberdayakan juga untuk melibatkan banyak pihak.
Jusuf berharap, keterlibatan dari berbagai golongan, antar kalangan bahkan lintas etnis ini bisa mempersatukan semua kalangan.
Terlebih, harga serba Rp 3.000 ini, menurut Jusuf memiliki makna filosofis tersendiri, yakni merujuk sila ketiga Pancasila yakni Persatuan Indonesia.
“Semoga dapat menyatukan semua elemen masyarakat tanpa memandang golongan, suku, etnis, dan agama,” imbuhnya.