CIREBON, KOMPAS.com - Siti Afina Tahar (27), meninggikan suaranya. Dia tidak terima saat upayanya mengevakuasi warga terdampak banjir, sempat ditahan sejumlah warga. Warga menilai, Afina tak mampu melakukan proses evakuasi, karena seorang perempuan.
Afina membuktikan, dirinya mampu. Bahkan ia bertahan di lokasi hingga pukul 03.00 dari 22.00 WIB, pada hari pertama evakuasi musibah banjir luas di Kecamatan Waled, Kabupaten Cirebon, Maret 2023.
"Saya kesal, karena terkesan meremehkan. Mereka bilang, sudah mba, pulang saja, takut kenapa-kenapa," kata Afina mengulang cerita yang terekam dalam ingatannya kepada Kompas.com, Selasa (7/6/2024) siang.
Baca juga: Kisah Rusdianto 13 Tahun Jadi Relawan Tagana, Tak Hiraukan Gaji Kecil yang Penting Membantu
Afina bergumam, justru di momen ini, dia ingin mempraktekkan ilmu yang dia dapati dari beberapa pelatihan sejak gabung Tagana 2022 lalu. Dia mendapatkan beberapa materi yang digelar Dinas Sosial, berupa Ilmu Dasar Tagana, Water Rescue, dan lainnya.
Setelah bergabung, Afina menjadi satu dari sekitar 15 Srikandi Tagana, Dinas Sosial Kabupaten Cirebon.
Dia juga tercatat satu-satunya personel Tagana yang tinggal dan aktif di Kecamatan Karangwareng, yang berada di bagian Timur Kabupaten Cirebon.
Baca juga: Cerita Sisdohiri, Tagana yang Dapat Kiriman Air Minum dari Allah
Meski baru dua tahun, guru honorer PAUD TK Kemuning ini, sudah mendapat banyak pengalaman suka duka.
Stigma perempuan tidak mampu melakukan hal dan aktivitas ke-tagana-an kerap kali dia terima. Hal itu, bukan menyurutkan langkahnya, malah justru semakin tertantang.
Afina juga kerap "perang batin" dan merasa dilema saat harus menjalani tugas penanganan bencana, dan meninggalkan ibunya, Aryani (53) seorang diri di rumah.
Sebab, Tasa (53) bersama adiknya Farhan (22), berada di Tangerang, sehingga hanya Afina yang bertugas menemani ibu di Cirebon.
"Kalau pengalaman terberat selama dua tahun ini, banjir di Waled dan sekitarnya kemarin. Saya izin ke ibu untuk evakuasi dan penanganan banjir. Ga taunya saya di sana sampai sekitar 8 hari. Saya sedih, itu momen sahur hari pertama bersama warga di pengungsian, sedangkan ibu sendirian di rumah," kenang lulusan IAIN Syekh Nurjati Cirebon kepada Kompas.com.
Namun, Afina tidak serta merta meninggalkan ibunya. Dia selalu menelpon dan berkabar.
Setelah tugasnya selesai, Afina menyempatkan pulang ke rumah di pagi hari untuk membantu ibu dan mengajar PAUD. Dia kembali bertugas sebagai Srikandi Tagana pada siang hingga malam hari.
Dia tidak menganggap uang Rp100.000 yang dia terima saat ini adalah upah kerja kerasnya, melainkan sekedar insentif.
Pasalnya, bila mengharapkan materi, menjadi bagian dari Tagana adalah sebuah kekeliruan.