Munggahan adalah tradisi masyarakat Islam suku Sunda menyambut datangnya bulan Ramadhan atau sebelum ibadah puasa selama 30 hari.
Kata munggahan berasal dari bahasa Sunda 'munggah' atau 'unggah' yang bermakna naik atau meningkatkan.
"Dalam konteks Ramadhan yakni usaha kita meningkatkan ke alam kesucian karena selama sebulan penuh akan melaksanakan ibadah shaum atau puasa," ujar Budayawan Sunda, Taufik Faturohman dikantornya di Jalan Setiabudi, Kota Bandung, Kamis (13/3/2024).
Tradisi yang sudah berlangsung selama beberapa generasi ini, dahulu tidak hanya soal makan bersama seperti saat ini. Tetapi ada beragam kegiatan di dalamnya.
Baca juga: Hangatnya Tradisi Tunggu Batale di Maluku Tengah Jelang Buka Puasa
Kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Sunda zaman dulu dalam tradisi munggahan ini mulai dari mandi di sungai, mengirimkan makanan ke orang tua, meminta maaf kepada orang tua, hingga ziarah kubur yang dilakukan sehari sebelum berpuasa Ramadhan.
"Tradisi munggah itu untuk membersihkan diri, mensucikan diri agar kita bisa melaksanakan ibadah di bulan suci," kata Taufik.
"Ditandai dengan mandi bersama di sungai, cuma sekarang berubah jadi makan bersama ada persegeran makna dan kebiasaan," tambahnya.
Menurut Taufik, adanya pergeseran dan perubahan kebiasaan dalam tradisi ini terjadi seiring dengan kemajuan zaman dari analog ke modern, yang ditandai kecanggihan teknologi komunikasi.
Misalnya, saja tradisi saling maaf-memaafkan yang kekinian dilakukan dengan mengiriminkan pesan singkat melalui aplikasi pada perangkat gawainya.
Baca juga: Ramaikan Tradisi Petang Belimau, Pj Walkot Pekanbaru: Momen Sambut Ramadhan
Namun demikian, dia memaklumi hal tersebut sebagai sebuah bentuk adaptasi dari sesuatu tradisi untuk bisa bertahan di era modern saat ini.
"Budaya dan bahasa itu dinamis tidak statis. Artinya mengikuti apa yang ada di sekitar kita, mulai dari perubahan ekonomi, teknologi dan lain sebagainya," terang Taufik.
Akan tetapi, Taufik menilai walaupun tradisi munggahan sudah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Tetapi makna filosofis yang terkandung didalamnya tidak pernah berubah sepanjang waktu.
"Kesakralan masih terjaga tapi tergantung niat kita, apakah untuk mensucikan diri atau hanya sekedar berhura-hura sambil makan. Itu berpulang ke diri masing-masing," katanya.
"Niatnya betul-betul mensucikan diri, bernawaitu mensucikan saya kira kesakralan tetap terjaga," tambah Taufik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.