Berbagai peristiwa menjadi bagian tak terpisahkan dari Bumi Ageung, kendati keberadaannya bukan tanpa gangguan, selain sempat diduduki tentara Belanda dan Jepang, barang-barang yang ada di dalamnya sempat dijarah.
“Barang-barang yang ada ini, ya sisa yang luput dan terselamatkan dari aksi penjarahan tersebut,” ujar Pepet.
Aksi penjarahan yang dilakukan bala tentara Belanda, Jepang, dan orang pribumi itu terjadi saat ahli waris tunggal rumah ini, yakni Raden Ayu Tjitjih Wiarsih, mengungsi.
Putri semata wayang RAA Prawiradiredja II itu diwarisi Bumi Ageung sejak 1910.
Namun, keterlibatannya dalam perlawanan terhadap agresor memosisikan putri bangsawan itu menjadi buruan penjajah.
Juag Tjitjih bahkan menjadi satu-satunya perempuan yang turut berperan dalam perumusan dan pembentukan PETA di rumahnya tersebut.
“Karena ikut merumuskan PETA itu, nenek saya dikejar-kejar Belanda dan harus mengungsi ke Kuningan, sehingga rumah ini terpaksa ditinggalkan,” diceritakan Pepet.
Kenangannya pada sang nenek tak lekang dalam ingatan. Bagi Pepet, Juag Tjitjih merupakan sosok perempuan pejuang.
Sejarah mencatat, Raden Ayu Tjitjih Wiarsih atau dikenal sebagai juag Tjitjih merupakan salah satu tokoh pergerakan perempuan asal Cianjur awal abad ke-20.
Dijelaskan, sejak dibangun hingga kini umurnya sudah 138 tahun, Bumi Ageung tetap dalam bentuk aslinya.
Renovasi pernah dilakukan sekali pada bagian belakang bangunan yang rusak karena menjadi sasaran bom mortir pasukan penjajah.
"Di teras depan ini dulu ada dua pilar besar. Tapi oleh tentara Belanda dirobohkan karena panser masuk sampai sini,” ujar Pepet.
Bumi Ageung Cikidang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat sebagai Benda Cagar Budaya Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata pada 2010.Baca juga: Menengok Al-Kahfi Somalangu Kebumen, Pesantren Tertua di Asia Tenggara
Bumi Ageung Cikidang telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata pada 2010.
Rasamala yang menjadi bahan material bangunan masih kokoh menopang atap rumah ini.
Bersama keponakannya, Rachmat Fajar, Pepet menjadi pemelihara dan penjaga Bumi Ageung dari ancaman zaman.
“Silakan, bagi siapa pun yang ingin berkunjung, pintu Bumi Ageung senantiasa terbuka lebar,” ucapnya memungkasi pembicaraan.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang