Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sunda Masuk 10 Besar Suku Lulusan Sarjana Terbanyak, Apa Faktornya?

Kompas.com, 4 Februari 2025, 12:18 WIB
Agie Permadi,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com – Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data mengenai persentase etnis yang paling banyak meraih gelar sarjana.

Dalam daftar tersebut, etnis Sunda masuk dalam 10 besar dengan persentase sebesar 7,59 persen.

Dari data BPS, suku Sunda menempati urutan ke-9 suku dengan persentase sarjana terbanyak. 

Menanggapi data tersebut, pengamat sosiologi dari Universitas Padjadjaran, Profesor Fadhil Nurdin, menilai bahwa hasil studi ini harus dianalisis dari berbagai sudut pandang sosiologis.

Ia menekankan pentingnya melihat data secara komprehensif, bukan sekadar mengambil angka tanpa kajian mendalam.

Baca juga: BPS: Batak Jadi Suku dengan Persentase Sarjana Terbanyak pada 2024

"Sesuai gak dengan realitasnya? Kalau segi sosiologis nya kita harus lihat dari sisi hasil studi, bukan hanya ngambil data ceplok sana ceplok sini. Hasil studi ini menurut saya sangat penting, ini pilarnya, apa yang perlu, ini kajian," ucap Fadhil saat dihubungi Selasa (4/2/2025).

Baca juga: Ruslan, Sarjana Pengayuh Sepeda, Jual Nasi Bungkus Keliling Sidoarjo

Fadhil menyoroti beberapa faktor sosiologis yang berkontribusi terhadap tingkat partisipasi pendidikan tinggi di Jawa Barat:

1. Kondisi ekonomi

Banyak masyarakat di Jawa Barat yang memiliki tingkat pendapatan yang rendah sehingga tak mampu membiayai pendidikan tinggi.

2. Latar Belakang Pendidikan Orangtua

Orangtua yang tidak memiliki latar belakang pendidikan tinggi mungkin tidak memiliki motivasi atau sumber daya untuk mendukung anak-anak mereka melanjutkan pendidikan tinggi.

3. Ketersediaan akses pendidikan

Ketersediaan akses pendidikan tinggi di Jawa Barat yang mungkin terbatas terutama di daerah pedesaan atau terpencil.

4. Budaya dan nilai

Budaya dan nilai masyarakat di Jawa Barat mungkin tidak mengutamakan pendidikan tinggi sebagai prioritas.

"Kondisi ekonomi budaya dan agama itu faktor penentu. Kalau dari sisi ekonomi, mampu gak sih masuk pendidikan tinggi. Dari sisi budaya, ada gak nilai yang mendukung mereka sekolah ke perguruan tinggi," kata Fadhil.

5. Keterlibatan masyarakat

Keterlibatan masyarakat dalam pendidikan tinggi mungkin rendah, sehingga tidak ada dorongan atau dukungan atau melanjutkan pendidikan tinggi.

6. Kualitas pendidian dasar dan menengah

Kualitas pendidikan dasar dan menengah di Jawa Barat mungkin tak memadai sehingga tak mempersiapkan siswa untuk melanjutkan pendidikan tinggi.

"Jadi persoalanya tidak sederhana, kita harus melihat dari sisi motivasi pendidikan dan budaya. Motivasi itu harus dilandaskan pada latar pendidikan dan nilai budaya. Kalau misal saya sentuh sisi ekonomi sekarang, nilai budaya motivasinya budaya apa sih, cukup makan kerja, ngapain, apa kepentingannya, ada fashion gak? Ada keinginan untuk maju gak? Nah, ini juga pertanyaanya," ujar Fadhil.

7. Faktor Geografis:

Faktor geografis seperti jarak dan aksesibilitas ke lembaga pendidikan tinggi juga bisa menjadi hambatan bagi masyarakat di Jabar.

"Dari sisi geografis, masyarakat pedesaan di Sunda tak mikir buat untuk pendidikan tinggi, boro-boro. Nah, ini budaya mereka. Jadi yang sisi eksternal juga dukungan masyarakat terutama pemda yang mendukung masyarakat berpendidikan tinggi kayaknya lemah sekali," ujar Fadhil.

"Karena perguruan tinggi di Bandung Jabar ini orang buat untuk menyerap pendidikan tinggi calonnya dari Indonesia bahkan dari dunia, tapi dari sisi kebijakan daerah tidak ada yang mendukung," ujarnya.

Kebijakan pendidikan yang tidak mendukung pendidikan tinggi dinilai mungkin menjadi faktor penyebab rendahnya pendidikan tinggi di Jawa Barat.

Selain itu ketersediaan sumber daya seperti dana, fasilitas, dan tenaga pengajar dipandang mungkin tak memadai untuk mendukung pendidikan tinggi di Jawa Barat.

"Penting untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk memahami faktor-faktor yang berkontribusi terhadap rendahnya pendidikan tinggi di Jawa Barat," ucapnya.

Fadhil juga menyertakan beberapa teori perspektif terkait hal ini, seperti teori Struktural-Fungsional (Talcott Parsons, Emile Durkheim).

Dari perspektif ini, rendahnya partisipasi masyarakat Sunda dalam pendidikan tinggi dapat dikaitkan dengan struktur sosial dan nilai budaya yang menekankan fungsi kolektif dibanding individualisme akademik.

Dalam beberapa komunitas lokal, pendidikan tinggi mungkin tidak dianggap sebagai kebutuhan utama karena sistem sosial telah mengembangkan mekanisme lain untuk mempertahankan keseimbangan, seperti sektor pertanian, perdagangan, atau industri kreatif berbasis kearifan lokal.

Sementara dari teori Konflik (Karl Marx, Pierre Bourdieu), pendekatan ini menyoroti adanya ketimpangan struktural dalam akses pendidikan tinggi, terutama akibat faktor ekonomi dan modal sosial.

Adapun Bourdieu (1986) menjelaskan bahwa pendidikan tinggi sering kali didominasi oleh kelompok dengan modal ekonomi, sosial, dan budaya yang lebih tinggi.

Jika akses terhadap modal-modal ini terbatas dalam masyarakat Sunda, maka peluang untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat sarjana pun menjadi rendah.

Kapital budaya dalam bentuk habitus keluarga yang kurang menekankan pentingnya gelar akademik juga dapat berkontribusi pada rendahnya minat pendidikan tinggi.

Dari perspektif makro, kata Fadhiel, kebijakan pendidikan di Indonesia masih menghadapi kendala dalam pemerataan akses dan kualitas.

Menurut penelitian dalam sosiologi pendidikan (Apple, 2004), sistem pendidikan sering kali lebih mengakomodasi kelompok sosial-ekonomi tertentu, sementara masyarakat di luar pusat ekonomi utama cenderung mengalami keterbatasan dalam aksesibilitas, baik dalam bentuk biaya, infrastruktur, maupun ekspektasi sosial.

Pemerintah dan stakeholder lainnya berperan penting dalam mendukung masyarakat berpendidikan tinggi.

Pasalnya, pendidikan tinggi yang dibuat di Bandung dan Jawa Barat ini tak hanya untuk menyerap calon berpendidikan tinggi secara nasional atau Internasional saja, tapi juga mendukung calon pendidikan tinggi lokal daerahnya.

"Dari sisi kebijakan daerah tidak ada yang mendukung (orang lokal), misalnya kabupaten atau dinas-dinas, bupatinya, gak ada yang mendukung supaya pendidikan tinggi setinggi tingginya," ujarnya.

Fadhil juga berpandangan bahwa pemerintah daerah tak ada yang memfasilitasi akses orang-orang lokal untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi S1, S2, S3 dan lainnya.

"Jadi apa yang penting dari sosiologi nya perlunya kebijakan dari pemda dari tingkat rendah kabupaten provinsi supaya misal beasiswa anak asli Sunda atau daerah tertentu, misal setahun 20-50 untuk masuk sarjana, pascasarjana, sekarang gak kedengar kebijakan pada level itu," ucapnya.

Fadhil mendorong para pemangku kepentingan untuk merumuskan kebijakan daerah yang mempermudah akses pendidikan tinggi bagi warga lokal, misalnya dengan menyediakan 100 beasiswa di salah satu perguruan tinggi di Jawa Barat khusus bagi calon mahasiswa dari daerah setempat.

"Saya mendorong semua pihak stakeholder, multistakeholder baik dari pemda, lembaga masyarakat atau pusat dana untuk pendidikan tinggi di Jabar. Jangan hanya dibuka, tapi gak ada kebijakan daerah, apalagi dikerjasamakan misal untuk UPI atau Unpad misal. Ya, semua level nasional, internasional tapi yang lokal ditinggalkan," kata dia.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Soal Penolakan Warga Terminal Cicaheum, Farhan Upayakan Relokasi ke TOD BRT Paling Ramai
Soal Penolakan Warga Terminal Cicaheum, Farhan Upayakan Relokasi ke TOD BRT Paling Ramai
Bandung
Forum Kiai NU Jawa Desak Pembentukan Panitia MLB, Nama Rhoma Irama Disebut
Forum Kiai NU Jawa Desak Pembentukan Panitia MLB, Nama Rhoma Irama Disebut
Bandung
Pakar Hukum Ingatkan Dedi Mulyadi: Surat Edaran Tidak Bisa Dibuat Seenaknya
Pakar Hukum Ingatkan Dedi Mulyadi: Surat Edaran Tidak Bisa Dibuat Seenaknya
Bandung
Pakar ITB Ingatkan Pemerintah Lakukan Pemodelan Banjir yang Akurat Sebelum Relokasi Warga
Pakar ITB Ingatkan Pemerintah Lakukan Pemodelan Banjir yang Akurat Sebelum Relokasi Warga
Bandung
Ratusan Siswa di Bogor Sumbang Uang, Mukena, hingga Lilin bagi Korban Bencana Aceh dan Sumatera
Ratusan Siswa di Bogor Sumbang Uang, Mukena, hingga Lilin bagi Korban Bencana Aceh dan Sumatera
Bandung
Kepsek SD Tasikmalaya Diduga Cabuli 5 Remaja Putri Dalam Kamar Hotel di Pangandaran
Kepsek SD Tasikmalaya Diduga Cabuli 5 Remaja Putri Dalam Kamar Hotel di Pangandaran
Bandung
Polisi Tangkap Oknum Kades di Jatinangor karena Sabu, Jalani Rehab di Lido 6 Bulan
Polisi Tangkap Oknum Kades di Jatinangor karena Sabu, Jalani Rehab di Lido 6 Bulan
Bandung
Menko AHY Tinjau Langsung Pembangunan Flyover Nurtanio Bandung
Menko AHY Tinjau Langsung Pembangunan Flyover Nurtanio Bandung
Bandung
Dedi Mulyadi Pulangkan 47 Warga, 25 Lainnya Masih Terjebak di Takengon Aceh
Dedi Mulyadi Pulangkan 47 Warga, 25 Lainnya Masih Terjebak di Takengon Aceh
Bandung
Puluhan Pengajuan Izin Perumahan di Cimahi Disetop, Pemkot Tunggu Kajian Lingkungan
Puluhan Pengajuan Izin Perumahan di Cimahi Disetop, Pemkot Tunggu Kajian Lingkungan
Bandung
Ujaran Kebencian Streamer Viral, Polda Jabar Tetap Proses meski Pelaku Sudah Minta Maaf
Ujaran Kebencian Streamer Viral, Polda Jabar Tetap Proses meski Pelaku Sudah Minta Maaf
Bandung
Libur Natal dan Tahun Baru, Jalur Puncak Bogor Pakai Skema Buka-Tutup
Libur Natal dan Tahun Baru, Jalur Puncak Bogor Pakai Skema Buka-Tutup
Bandung
REI Jabar soal SE Dedi Mulyadi Moratorium Izin Perumahan: Mohon Dikaji Ulang...
REI Jabar soal SE Dedi Mulyadi Moratorium Izin Perumahan: Mohon Dikaji Ulang...
Bandung
Relokasi Korban Longsor Arjasari, Bupati Bandung Biayai Sewa Kontrakan 3 Bulan
Relokasi Korban Longsor Arjasari, Bupati Bandung Biayai Sewa Kontrakan 3 Bulan
Bandung
Wagub Jabar Desak Polisi Tangkap Streamer Pelaku Dugaan Ujaran Kebencian
Wagub Jabar Desak Polisi Tangkap Streamer Pelaku Dugaan Ujaran Kebencian
Bandung
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau