TASIKMALAYA, KOMPAS.com - Praktisi Hukum sekaligus Direktur Sekolah Tinggi Hukum Galunggung (STHG) Tasikmalaya, Jawa Barat, Nana Suryana, meminta anggota DPR RI Rieke Diah Pitaloka menerima informasi utuh terkait tuduhan polisi salah tangkap.
Selama ini, pernyataan Rieke di media massa seolah-olah menggiring ketidakpercayaan publik kepada aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan di Tasikmalaya.
"Menyikapi statemen teman dan kawan kita Rieke Diah Pitaloka terkait kasus pengeroyokan di Tasikmalaya, saya, praktisi hukum, terpanggil untuk menyampaikan ke publik. Seharusnya Rieke, sebelum masuk ke kasus itu, datang ke Tasikmalaya menanyakan ke APH dan korban, supaya mendapatkan informasi lengkap dan tidak sebelah pihak," jelas Nana kepada wartawan di kantornya, Selasa (4/2/2025).
Baca juga: Kapolres Beberkan Peran 4 Anak Penganiaya di Tasikmalaya, Buktikan Tak Salah Tangkap
Nana menambahkan, selama ini informasi yang disampaikan ke publik terkait kasus tuduhan salah tangkap di Tasikmalaya mirip dengan kasus Vina Cirebon jilid 2.
Padahal, tuduhan polisi salah tangkap telah terbantahkan dengan bukti rekaman bukti-bukti kepolisian yang ditunjukkan di Komisi III DPR RI, Kamis (30/1/2025).
"Dia (Rieke Diah Pitaloka) lupa, kalau kasus Vina itu korban sudah meninggal dunia, karena tidak ada klarifikasi kepada korban. Di Tasikmalaya, korban masih hidup dan mengetahui pelaku, dan informasi bisa disampaikan dengan jelas," tambah Nana.
Selanjutnya, kata Nana, Rieke menganalisis putusan hakim yang memvonis para pelaku selama 1 tahun 8 bulan penjara.
Hal itu tak bisa dilakukan, kata Nana, meski Komisi Yudisial yang melakukannya bukan analisis putusan, tapi perilaku hakimnya.
"Rieke menganalisis putusan hakim, hakim independen dan putusannya tak bisa dianalisis. Bukan putusannya itu oleh Komisi Yudisial, tapi perilaku hakim. Kemudian, Kepolisian salah tangkap; selama ini ada proses penetapan tersangka yang didukung oleh dua alat bukti kuat," ujar dia.
Dampak dari pernyataan Rieke di media, lanjut Nana, akan membingungkan masyarakat.
Terlebih, proses penegakan hukum di Tasikmalaya selama ini semestinya bisa dijaga dan tidak terganggu oleh kejadian seperti ini.
"Jadi, statemen Rieke bikin bingung masyarakat. Statemen Rieke membuat ada indikasi seolah-olah penegak hukum di Tasikmalaya tidak profesional," tambah dia.
Kemudian, Rieke menyebut para pelaku selama ini tak didampingi pengacara, padahal sejak awal sudah datang ke kantor Peradi meminta bantuan hukum.
Jika selama ini menyebut proses persidangan tak memakai Undang-Undang Perlindungan Anak, saat sidang dilakukan secara tertutup.
Persidangan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum pun memang mengalami putusan sela akibat perbaikan salah tik tulisan lokasi kejadian yang seharusnya di SL Tobing, tapi ditulis di Cibeureum.
"Dampak pernyataan itu berbahaya karena jadi distrust kepada APH Tasikmalaya. Rieke men-just (menuduh) proses penegakan hukum di Tasikmalaya seolah-olah salah," pungkasnya.
Diberitakan Kompas.com sebelumnya, anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka, mengadukan dugaan salah tangkap oleh Polres Tasikmalaya Kota ke Komisi III DPR RI, Selasa (21/1/2025).
Baca juga: Bawa Bukti Foto ke DPR, Kapolres Tasikmalaya Bantah Periksa Anak Tanpa Pendampingan
Kejadian itu terjadi di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, dengan korban berjumlah empat orang anak-anak yang dituduh melakukan pengeroyokan.
"Ini terkait ada kasus salah tangkap, indikasi kuat. Ini dalam kasus pengeroyokan anak-anak," ujar Rieke.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang