"Warga sudah sangat geram sehingga tidak bisa lagi menunggu petugas melakukan pembongkaran hanya di titik tertentu, harus semuanya. Waktu PKL dibongkar, aparat cepat, sedangkan ini karena perusahaan besar, terkesan lama, berbelit-belit. Jadi, kami minta ini segera dibongkar semua," katanya.
Sementara itu, Kasatpol PP Provinsi Jabar Muhammad Ade Afriandi menjelaskan bahwa petugas perlu proses untuk melakukan penertiban bangunan atau pembongkaran terhadap wisata Hibisc.
"Jadi, hari ini kami melakukan dulu pembersihan, penataan sisa material pembongkaran paksa pertama yang dilakukan kemarin oleh warga, nah baru setelah itu kami mau bongkar," ucap Ade kepada Kompas.com, Jumat.
Namun, sampai dengan sholat Jumat tadi, situasi memanas sehingga kondisinya tidak memungkinkan untuk dilanjutkan penataan.
"Kemudian berjalan setelah shalat Jumat, sekitar jam 2 tiba-tiba ada kelompok masyarakat merangsek masuk menjebol pintu gerbang dan memaksa pekerja untuk membongkar bangunan dengan alasan tidak kepuasan," ujarnya.
Baca juga: Hibisc Fantasy Puncak Dibongkar: Arahan Dedi, Bantahan Jaswita, hingga Amarah Warga...
Menurut Ade, warga melakukan pemaksaan kepada operator (ekskavator) untuk menghancurkan semua bangunan wisata Hibisc tersebut.
Dia menyebutkan, terdapat 39 bangunan wisata Hibisc ini yang disegel, 14 di antaranya harus melalui proses cabut izin, sedangkan 25 bangunan lainnya masuk kategori dibongkar.
Dengan begitu, ada beberapa bangunan yang punya dokumen atau izin sehingga harus melalui prosedur. Namun, massa tetap memaksa untuk dilakukan pembongkaran.
"Tentu kami menyampaikan jangan sembarang, ada bangunan yang memiliki izin, artinya harus melalui proses," ujarnya.
Petugas sempat menghentikan alat berat supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Namun, ada satu yang lolos dan akhirnya dipakai untuk menghancurkan bangunan wisata.
"Kami sampaikan bahwa di kawasan ini ada yang masuk ke dalam perizinan dan ada yang belum. Nah berbicara pembongkaran, tentu kami tidak bisa semua bongkar hari ini selesai karena kontruksinya beda-beda dan posisi tidak masuk izin itu tidak satu hamparan," ucapnya.
"Artinya tersebar dan akses masuknya juga kan tidak sama lebar dan belokannya. Nah itu tentu kami sampaikan pemahaman bahwa kami melakukan penertiban dan pembongkaran tidak bisa cepat selesai," tuturnya.
"Apalagi masyarakat memaksa masuk dan memaksa menunjukkan bangunan yang ingin mereka bongkar. Nah, itu tentu mengganggu proses penertiban ini," tuturnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang