Editor
GARUT, KOMPAS.com - Sebanyak 13 orang tewas dalam musibah ledakan bom di Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Senin (12/5/2025) pagi.
Ledakan bom itu berasal dari aktivitas pemusnahan bom kedaluwarsa atau amunisi tak layak pakai yang dilaksanakan di pantai.
Pemusnahan amunisi tak layak pakai itu dilaksanakan sekitar pukul 09:30 WIB.
Dari 13 korban tewas itu, 4 di antaranya anggota TNI termasuk seorang perwira menengah.
Anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin, menyoroti Standar Operasional Prosedur (SOP), dalam insiden ledakan amunisi kedaluwarsa yang terjadi di Garut, Jawa Barat.
TB Hasanuddin mengingatkan pentingnya SOP dan pengamanan ketat dalam proses peledakan amunisi kedaluwarsa, agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.
Menurut TB Hasanuddin, lokasi yang digunakan sebenarnya sudah tepat karena berada cukup jauh dari permukiman warga.
Namun, ia menilai masih ada kekurangan dalam pengamanan area peledakan.
“Yang pertama itu, menurut hemat saya, sudah cukup jauh di pantai. Dari lokasi sudah tepat, tetapi seharusnya masyarakat harus disingkirkan."
"Iya, dijauhkan. Dan dilarang masuk ke wilayah peledakan atau di sekitar peledakan. Itu yang pertama,” kata TB Hasanuddin saat dihubungi Tribunnews.com, Senin (12/5/2025).
TB Hasanuddin menjelaskan, bahwa proses peledakan amunisi kedaluwarsa memang memiliki tingkat risiko tinggi.
Karena tidak semua amunisi meledak secara bersamaan saat ledakan pertama
“Setelah peledakan pertama, amunisi itu belum tentu semua meledak. Karena mungkin amunisi itu sudah batas waktunya sudah habis."
"Tapi ketika ledakan pertama meledak, terjadi panas. Panas itulah yang kemudian meledakkan amunisi yang out of date,” ujarnya.
Legislator PDIP itu menilai, kesalahan bisa saja terjadi karena asumsi bahwa seluruh amunisi kedaluwarsa telah diledakkan.
Padahal, beberapa jenis amunisi yang telah kedaluwarsa membutuhkan waktu untuk bereaksi terhadap panas hingga akhirnya meledak.
“Ini dianggap sudah aman, dianggap semua amunisi itu sudah diledakkan, padahal sebagian masih ada yang, katakanlah awalnya membeku itu. Amunisi kedaluwarsa itu panas, begitu panas tentu meledak,” ujarnya.
Baca juga: Ngerinya Ledakan Bom Kedaluwarsa di Garut, Belasan Jasad Korban Berjejer dalam Kantung Mayat
Proses Ledakan Kedua
Ia juga mengingatkan bahwa ledakan kedua biasanya tidak bisa diprediksi dengan mudah.
Karena proses pemicunya terjadi secara bertahap akibat paparan panas dari ledakan pertama.
“Ledakan kedua itu sulit dideteksi. Kalau menurut saya, salah perhitungan. Dikira semua sudah meledak, itu selesai pada ledakan pertama. Lalu turun, ngecek. Ternyata mungkin, karena makin lama kedaluwarsa makin lama meledaknya, tidak otomatis itu. Butuh waktu,” ucapnya.
Sebagai langkah ke depan, ia menyarankan agar pengalaman ini menjadi bahan evaluasi serius dalam SOP peledakan amunisi kedaluwarsa.
Baca juga: Kadispenad: Ledakan Amunisi di Garut Terjadi Saat Menyusun Detonator
Jangan Terlalu Banyak
Ia juga meminta agar jumlah amunisi yang diledakkan dalam satu kali peledakan dibatasi agar lebih mudah dikendalikan.
“Langkah ke depannya harus menjadi bahan acuan dari pengalaman seperti ini. Terus yang kedua, volume yang diledakkan itu sebaiknya jangan terlalu banyak."
"Kalau terlalu banyak, kan nanti ada yang meledak belakangan dong. Ya, harus menjadikan sebuah pelajaran untuk prosedur ke depan agar tidak terjadi lagi,” pungkas TB Hasanuddin.
Artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Anggota DPR RI Jelaskan Mengapa Amunisi yang Diledakkan Bisa Ada Ledakan Lagi: Salah Perhitungan?.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang