Editor
KOMPAS.com - Jumat (30/5/2025) pagi itu, Sakira masih sempat memotret batu biru yang ia temukan saat bekerja di lereng Gunung Kuda, Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon.
Foto sederhana itu ia unggah ke media sosial. Tak disangka, itulah pesan terakhirnya sebelum longsor datang dan merenggut nyawanya.
Sabtu (31/5/2025) malam, suasana duka menyelimuti Rumah Sakit Arjawinangun.
Jumeni—akrab disapa Eni—terlihat termenung di ruang tunggu, ditemani sang anak.
Mata Eni sembap, suaranya bergetar saat menyebut nama adiknya: Sakira, salah satu korban longsor tragis itu.
Baca juga: Update Longsor Gunung Kuda Cirebon: 17 Orang Tewas, 8 Orang Diperkirakan Masih Tertimbun
"Ya, menangis. Enggak ada lagi. Saya cuma bisa berdoa, semoga adik selamat, tetapi Allah berkehendak lain," ujarnya lirih, seperti dikutip dari Tribun Jabar.
Sakira, pria berusia 44 tahun, dikenal sebagai sosok pekerja keras.
Ia tinggal di Blok Karang Baru, Kelurahan Cikeusal, Kecamatan Gempol, dan menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga.
Sang istri, Tati, sering sakit-sakitan. Anak semata wayangnya, yang kini duduk di kelas 6 SD, masih belum sepenuhnya mengerti bahwa ayahnya telah pergi untuk selamanya.
Menurut Eni, sebelum kejadian, adiknya sempat mengeluh sakit. Badannya lemas dan demam.
Namun, meski kondisi fisiknya tidak prima, Sakira tetap memilih berangkat bekerja.
Baca juga: Dedi Mulyadi Cabut Izin 3 Perusahaan Pengelola Gunung Kuda Cirebon, Berikut Daftarnya
"Istrinya sempat bilang, 'jangan berangkat, Pak'. Tapi Sakira jawab, 'buat jajan anak sama beli bensin.' Akhirnya, dia tetap pergi," tutur Eni.
Hari itu, Sakira sempat menunjukkan kegembiraan kecil kepada rekan-rekannya: ia menemukan batu biru yang cantik di lokasi kerja.
Meski tubuhnya sedang tak bugar, ia tampak ceria.
"Berangkat-lah... Malah di hutan, tuh, posting, 'Ini, bagus, nih, batu biru, nih'," Eni menirukan unggahan adiknya.