BANDUNG BARAT, KOMPAS.com — "Ketika teknologi berpihak pada rakyat, di situlah ilmu pengetahuan menemukan bentuk nyatanya," kalimat yang mungkin tak akan terdengar dari seminar nasional bertiket jutaan rupiah.
Tak banyak yang tahu bahwa di ujung Desa Cintaasih, Kabupaten Bandung Barat, sekelompok mahasiswa diam-diam sedang merakit harapan dari panel surya dan turbin angin bekas.
Di desa yang lebih sering akrab dengan padam listrik daripada sinyal internet itu, mereka menghadirkan cahaya bukan dari janji politik, melainkan dari disiplin ilmu dan empati sosial.
Proyek ini bernama Kolecer Setrum, sebuah pengabdian masyarakat yang digagas Himpunan Mahasiswa Teknik Mesin (HMM ITB) dan Himpunan Mahasiswa Fisika Teknik (HMFT ITB), dengan semangat membawa energi bersih bagi fasilitas umum desa.
Baca juga: Bandung Barat Surplus Rp 78 Miliar, Rakyat Miskin Masih Sulit Dapat Obat
Dipimpin Muhamad Novian Akbar dan Luthfi Adi Nugraha, program ini berjalan sejak November 2024 hingga Juni 2025 dan menyasar langsung ke jantung pendidikan desa: MA Anwarurrohman, satu-satunya sekolah menengah di sana.
Sekolah yang selama ini terbiasa belajar dalam keterbatasan kini perlahan-lahan menikmati listrik yang stabil berkat instalasi sistem tenaga surya 600W dan perbaikan turbin angin lama yang nyaris terbengkalai.
"Bukan hanya soal listrik menyala, kami ingin anak-anak desa ini tumbuh dengan rasa ingin tahu pada sains, bukan rasa takut karena mereka merasa tertinggal," kata Novian.
Jauh sebelum memulai pengabdiannya, sejumlah mahasiswa ini melakukan observasi untuk mengumpulkan persoalan mendasar yang belum terselesaikan oleh negara.
Dari hasil survei, persoalan listrik seperti sulitnya akses ke sumber listrik dan susahnya penerangan menjadi persoalan menahun yang dialami warga.
Himpunan Mahasiswa Teknik Mesin (HMM ITB) membuat Kolecer Setrum di sebuah sekolah di Desa Cintaasih, Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat."Kami melihat ada kekurangan listrik di sana. Ternyata listrik di kampung itu belum merata. Setelah kami berdiskusi, kami pilih support dulu fasilitas pendidikan agar tidak terlalu bergantung pada listrik negara," kata Novian.
Baca juga: DPRD Bandung Barat Anggarkan Tablet Rp 1 Miliar, Dedi Mulyadi: Kami Cek Urgen atau Tidak
Daya listrik di sekolah MA Anwarurrohman rupanya tak cukup untuk mendukung kegiatan belajar mengajar.
Sesekali, siswa kegelapan jika penggunaan listrik berlebihan.
"Memang kondisi di sekolah ini daya listriknya rendah. Alasan itu yang juga mendorong kami untuk melakukan sesuatu," papar Novian.
Apa yang mereka lakukan bukan hanya praktik lapangan, melainkan bentuk nyata bagaimana ilmu pengetahuan seharusnya menjawab kebutuhan rakyat, bukan sekadar menyelesaikan soal ujian.
Novian menyadari, kontur perbukitan di kampung itu memiliki potensi sumber daya yang bisa dimanfaatkan, yakni angin.