“Harga sepatu mereka bisa sama dengan uang belanja saya setahun. Itu yang bikin hati sakit,” ujarnya penuh pilu.
Ia berharap ada perubahan sistem penggajian anggota DPR yang lebih wajar.
“Kalau bisa disesuaikan dengan kondisi rakyat. Jangan terlalu tinggi. Lebih baik uangnya dipakai untuk bantu pendidikan anak-anak miskin,” ucapnya.
Asep (50), seorang pedagang cilok di kawasan Soreang, menilai kondisi ini menunjukkan jurang kesenjangan yang semakin lebar.
Ia mengaku sehari-hari hanya bisa membawa pulang Rp 60 ribu hingga Rp 100 ribu dari hasil berjualan.
“Kalau hujan, ya sepi. Kadang malah rugi karena cilok enggak habis terjual. Saya sering mikir, kenapa wakil rakyat bisa gaji gede padahal kerja mereka tidak jelas kelihatan hasilnya buat rakyat,” ujar Asep.
Menurut Asep, seharusnya para anggota DPR memberi contoh hidup sederhana. “Kalau mereka hidup sederhana, rakyat akan hormat. Tapi kenyataannya mereka malah pamer mobil mewah. Rakyat tambah kesel,” ucapnya.
Asep berharap, wakil rakyat dapat mendengar setiap keluhan warga dan menjadikannya bahan evaluasi. “Semoga suara kami, sopir angkot, pedagang cilok, ibu rumah tangga—didengar. Bukan untuk minta belas kasih, tapi keadilan,” tegasnya.
Ketiga warga tersebut sepakat bahwa gaji anggota DPR-RI yang tinggi seharusnya diimbangi dengan kinerja nyata bagi masyarakat.
Kekesalan ini mencerminkan jurang sosial yang kian terasa, di mana pekerja informal dan buruh masih berjuang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, sementara para wakil rakyat di Senayan menikmati fasilitas lengkap dengan gaji fantastis.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang