Editor
BANDUNG, KOMPAS.com - Pengamat ekonomi Universitas Pasundan (Unpas) Bandung, Acuviarta Kartabi, mengingatkan pemerintah agar tidak cepat puas dengan turunnya angka kemiskinan di Jawa Barat.
Menurutnya, kualitas kemiskinan justru memburuk karena tingkat kedalaman dan keparahannya meningkat.
“Selama ini kan kita hanya melihat jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan. Padahal ada dua indikator lain yang jarang dibahas, yaitu indeks kedalaman (P1) dan indeks keparahan kemiskinan (P2). Kalau melihat data BPS, dua indikator ini justru naik. Artinya persoalan kemiskinan semakin dalam dan semakin parah,” ujar Acuviarta dikutip dari Tribun Jabar, Senin (15/9/2025).
Baca juga: Dedi Mulyadi Soroti Pembangunan Karawang: Pemimpinnya Harus Ngerti ke Barat, ke Timur
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Jabar pada Maret 2025 mencapai 3,65 juta orang atau 7,02 persen dari total populasi. Angka ini turun tipis dari September 2024 sebanyak 3,67 juta orang.
Namun, indikator kedalaman kemiskinan (P1) naik dari 1,05 menjadi 1,17. Begitu juga dengan indeks keparahan kemiskinan (P2) yang meningkat dari 0,24 menjadi 0,29.
“Kalau P1 naik, berarti jarak pengeluaran mereka terhadap garis kemiskinan makin jauh. Butuh upaya yang lebih besar untuk mendorong mereka keluar dari garis kemiskinan,” kata Acuviarta.
Ia menambahkan, kenaikan P1 dan P2 lebih terasa di wilayah pedesaan.
“Persoalan kemiskinan di perdesaan itu jauh lebih kompleks. Jumlah penduduk miskin di kota memang lebih banyak, tapi dari sisi kedalaman dan keparahan kemiskinan, desa lebih parah,” ucapnya.
Baca juga: Dedi Mulyadi: Saya Minta Maaf Bila Kinerja Saya Belum Memuaskan Semua Orang
Menurut Acuviarta, perbedaan garis kemiskinan versi BPS dan Bank Dunia wajar karena indikator yang dipakai berbeda.
Namun, ia menekankan pentingnya menaikkan standar garis kemiskinan agar sejalan dengan upaya menurunkan jumlah penduduk miskin.
“Spiritnya sebenarnya bagaimana kita bisa meningkatkan garis kemiskinan ke depan sehingga indikator kemiskinan sejalan dengan upaya menurunkan jumlah penduduk miskin,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa 75 persen garis kemiskinan di Indonesia ditentukan oleh pengeluaran untuk makanan.
“Penanganan kemiskinan ke depan harus mendorong keterjangkauan masyarakat miskin terhadap kebutuhan makanan, terutama beras. Bantuan sosial berbasis pangan harus dioptimalkan,” kata Acuviarta.
Selain bantuan sosial, penciptaan lapangan kerja dinilai menjadi kunci.
“Penciptaan lapangan kerja harus dipercepat, baik melalui pengembangan sektor UMKM, pembangunan infrastruktur, maupun sektor pertanian,” ujarnya.