CIREBON, KOMPAS.com - Taruna Tanggap Bencana (Tagana) adalah satu dari beberapa relawan garda terdepan penanganan bencana di Indonesia.
Pertolongan segera terhadap korban bencana adalah pekerjaan utama bagi para relawannya.
Ini adalah pilihan hidup. Bagaimana tidak, mereka bekerja tanpa memikirkan upah demi kemanusiaan.
Kesaksian Sisdohiri -salah satu dari 65 personel Tagana yang tercatat di Dinas Sosial, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mungkin bisa mewakilinya.
Suka duka telah dia lewati selama kurun waktu 14 tahun -sejak pertama bergabung pada tahun 2010 lalu.
Ketertarikannya terhadap kegiatan sosial mengantarkan Sisdohiri berlabuh dalam organisasi ini.
"Awalnya saya di karang taruna desa, terlibat aktif, dan hingga gabung Tagana di tahun 2010."
"Menurut saya, Tagana organisasi yang paling tinggi ibadahnya untuk menolong masyarakat," kata Sisdohiri saat ditemui Kompas.com di Kantor Dinas Sosial, pada Sabtu (4/5/2024) petang.
Sisdohiri ditempa beberapa momen pelatihan, tingkat kabupaten, provinsi, hingga kementerian.
Baca juga: Cerita Erik 20 Tahun Jadi Relawan Tagana demi Kemanusiaan
Ilmu dasar Tagana, water rescue, vertikal rescue, jungle rescue, pendirian shelter, logistik, psikologi dasar untuk trauma healing, dan lainnya adalah bekal utama selama bertugas.
Dia mempraktikkan ilmu pelatihan itu pada tiap kali penanganan bencana, termasuk banjir besar di Kecamatan Susukan, Kabupaten Cirebon, pada tahun 2017.
Baginya, peristiwa itu sangat berkesan. Saat itu, Sis merasa fisiknya nyaris tidak kuat karena berada di tengah banjir selama sekitar 18 jam.
Sejak penanganan pada pukul 19.00 WIB, dia terus menyusuri banjir ke rumah warga terdampak untuk evakuasi.
Sebagian personel memilih istirahat di pagi hari, ke tempat pengungsian dan atau pulang sejenak sambil mengganti baju.
Namun, tidak bagi Sisdohiri. Penanganan yang dia lakukan berlanjut hingga siang hari sekitar pukul 12.00 WIB.
Petugas Tagana lainnya membawakan sisa dua buah bungkus nasi untuk makan siang Sisdohiri serta rekannya, di dekat rumah warga terdampak.
Namun, saat hendak makan, ada korban banjir yang meminta nasi karena kelaparan. Seketika, Sis memberikan dua buah nasi bungkus tersebut.
Padahal, nasi tersebut hendak dia makan setelah menahan lapar sejak pukul 19.00 WIB.
Tak lama setelah memberikan nasi, ada dua buah air minum kemasan gelas mengambang di permukaan air banjir dan melintasinya.
Dia mengambil, lalu meminumnya bersama rekannya. "Nasi itu saya ke warga, kasihan. Padahal saat itu kita sudah lapar dan lemas sekali," kata dia.
"Nah, anehnya, tiba tiba, ada minuman kemasan gelas lewat di atas permukaan air."
"Kami langsung ambil dan minum bareng-bareng, bersama sekitar enam orang. 'Kiriman' Allah sepertinya," kata Sis sambil tersenyum.
Akhirnya, sekitar pukul 16.00 WIB, selepas ashar atau sekitar 21 jam setelah penanganan banjir, Sis pulang. Dia bergantian dengan personel lainnya.
Baca juga: Cerita Asep Lampu, Relawan Tagana yang Bantu Kelistrikan di Lokasi Bencana hingga Hajatan
Sambil berjalan pulang dia mampir ke warteg lantaran rasa lapar yang luar biasa.
Pengorbanan serupa juga pernah Sis lakukan saat penanganan bencana banjir luas yang melanda Kecamatan Waled serta delapan Kecamatan lainnya pada Maret 2024 kemarin.
Sis tak sempat membawa uang saat pertama kali menuju lokasi banjir, karena panik mendengar informasi banjir luas.
Setelah proses penanganan, Sis pulang untuk ganti baju, dan lainnya.
Sialnya, ban belakang motornya bocor dan tak ada uang serupiah pun di kantongnya. Sis terpaksa menggadaikan KTP sementara, agar motornya dapat diperbaiki dan dapat digunakan.
Baginya, selain kemampuan menolong, menjadi personel Tagana harus menyiapkan jiwa raga demi kemanusiaan: sepenuhnya.
Karena bila hanya mengharapkan materi, hasil yang didapat, jauh dari kata cukup.