Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyoal Dihapusnya 2 Nama DPO Usai Penangkapan Pegi Setiawan Terduga Pelaku Kasus Pembunuhan Vina

Kompas.com, 28 Mei 2024, 15:25 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Kepolisian Jawa Barat menghapus dua nama dari Daftar Pencarian Orang (DPO) usai penangkapan Pegi Setiawan, salah satu terduga pelaku pembunuhan Vina dan Eky delapan tahun lalu. Perkembangan terbaru kasus pembunuhan ini menambah daftar panjang kejanggalan di balik penyelidikan polisi.

Pegi Setiawan bersama dengan dua nama lain, Andi dan Dani, masuk dalam daftar buron dalam kasus pembunuhan yang viral tersebut. Namun, dalam konferensi pers pada Minggu (26/05), Polda Jawa Barat mengumumkan dua nama tersebut dihapus dari daftar buron.

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat, Kombes Pol Surawan, beralasan dua nama tersebut dihapus karena delapan pelaku yang sudah diamankan sebelumnya hanya "asal sebut" dan identitas keduanya belum dapat dibuktikan.

Baca juga: Linda, Teman Vina yang Diperiksa Polisi, Mengeklaim Tak Kenal Pegi

“Ada yang [menyebut] tersangka [buron] tiga nama berbeda, ada menerangkan lima, ada satu. Setelah dilakukan pendalaman, dua nama yang disebutkan selama ini, itu hanya asal sebut [oleh para tersangka]," ujar Surawan.

Hingga kini, total sembilan orang telah dijadikan tersangka dalam kasus pembunuhan Vina.

Keluarga Vina, melalui kuasa hukum Putri Maya Rumanti, mengaku kecewa dengan keputusan penghapusan dua nama tersebut dan mendesak kepolisian berpegang pada amar putusan pengadilan yang menetapkan bahwa DPO dalam kasus Vina berjumlah tiga orang.

“Di dalam amar putusan ini sudah jelas sebagai DPO yang harus dicari. Jadi pertanyaannya siapa yang paling bertanggung jawab atas kematian Vina dan Eky kalau dua DPO itu dihilangkan?" kata Putri.

Sementara, sosok Pegi juga hadir dalam konferensi pers tersebut. Ia terlihat beberapa kali menggeleng-geleng kepala saat polisi menjelaskan perannya dalam kasus Vina.

Baca juga: Kisruh soal Penangkapan Pegi dan Penghapusan DPO Pembunuhan Vina, Kompolnas Akan Minta Klarifikasi Polda Jabar

Di depan media dan kepolisian, ia membantah keterlibatannya dalam pembunuhan Vina dan Eky.

"Saya tidak pernah melakukan pembunuhan itu. Ini fitnah. Saya rela mati," tegas Pegi.

Pegi melalui kuasa hukumnya, Sugianti Iriani, akan mengajukan gugatan praperadilan. Menurut Sugianti, penetapan Pegi sebagai tersangka tidak sesuai prosedur dan merupakan “salah tangkap”. Karena penyelidikan seharusnya dimulai dari awal, bukan mengikuti alur delapan tahun lalu.

Kasus pembunuhan Vina dan Eky yang terjadi di Cirebon, Jawa Barat, kembali mengemuka setelah sebuah rumah produksi Dee Company mengadaptasi kisahnya menjadi film horor yang kontroversial berjudul Vina: Sebelum 7 Hari.

"Usut sampai tuntas"

Tersangka Dugaan Pembunuh Vina Dihadirkan Dalam Presconference di Mapolda JabarKOMPAS.COM/AGIE PERMADI Tersangka Dugaan Pembunuh Vina Dihadirkan Dalam Presconference di Mapolda Jabar
Dihubungi secara terpisah, pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan polisi harus membuktikan akuntabilitas penyelidikannya dalam kasus ini untuk menjawab berbagai klaim dan kejanggalan yang mengemuka.

Sebab klaim-klaim yang mengemuka itu, menurut Bambang, mengindikasikan pembuktian yang tidak cukup kuat terkait keterlibatan para terdakwa.

Dia mendesak Divisi Profesi dan Pengamanan serta Direktorat Kriminal Umum Polri menelusuri dan memeriksa kembali apakah penyidikan kasus ini pada 2016 lalu sudah berjalan sesuai prosedur.

Dua hal yang menurut Bambang penting untuk dibuka secara transparan.

Baca juga: Pegi Bantah Jadi Otak Pembunuhan, Kuasa Hukum Keluarga Vina: Itu Hak Dia untuk Berbicara

Pertama, mengapa polisi belum juga menangkap tiga orang pelaku yang menjadi buronan selama delapan tahun terakhir. Padahal menurut Bambang, “itu semestinya bukan hal yang sulit dilakukan oleh polisi”.

Kegagalan polisi menangkap tiga buronan dalam waktu delapan tahun membuat muncul spekulasi di media sosial yang menuding bahwa satu buron adalah anak dari perwira polisi. Namun, tuduhan itu dibantah oleh Polda Jawa Barat.

Kedua, polisi harus mempertanggungjawabkan proses penyelidikan kasus ini untuk menanggapi dugaan “salah tangkap” yang diungkap oleh salah satu terdakwa baru-baru ini.

Hanya saja menurut Bambang, pembuktian polisi saat menangani kasus ini terlalu bertumpu pada pengakuan dan kesaksian para terdakwa, yang disebut bisa saja muncul akibat intimidasi.

“Kalau tidak [diusut] risikonya akan muncul lagi keraguan masyarakat terhadap kinerja kepolisian, jangan-jangan ada yang direkayasa atau ditutup-tutupi. Divisi Propam harus hadir untuk menyelidiki apakah ada pelanggaran SOP dalam penyelidikan delapan tahun lalu,” kata Bambang kepada BBC News Indonesia, Senin (20/05).

Baca juga: Pegi Bantah Telah Membunuh Vina, Apakah Berpengaruh pada Proses Hukum?

Kepala Bidang Humas Polda Jawa Barat Komisaris Besar Jules Abraham Abast menegaskan, kepolisian akan bertindak transparan.

"Kalau terkait opini yang saat ini dibangun, kami minta seluruh warga masyarakat untuk menahan diri. Kami akan bekerja sebaik mungkin, secara transparan. Nanti ada waktunya akan kami sampaikan," ujar Jules kepada wartawan di Bandung, Yulia Saputra, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Mengaku korban salah tangkap

Saka Tatal (kanan) mengeklaim dirinya menjadi korban salah tangkapBBC Indonesia/ABDUL PAHAT Saka Tatal (kanan) mengeklaim dirinya menjadi korban salah tangkap
Sejauh ini, delapan orang telah divonis bersalah di pengadilan karena dinyatakan terbukti membunuh Vina dan Eky.

Salah satunya adalah Saka Tatal, yang sudah bebas usai menjalani masa tahanan selama tiga tahun delapan bulan.

Saka mengaku menjadi “korban salah tangkap” dan menyatakan dia “tidak ada di tempat kejadian” pada malam Vina dan Eky meninggal dunia.

Dia juga mengeklaim disiksa oleh polisi agar mau mengaku bersalah dalam kasus ini.

Akan tetapi, klaim itu berbeda dengan fakta-fakta persidangan yang terangkum di dalam putusan Pengadilan Negeri Cirebon bahwa Saka turut memukul Eky bersama para terdakwa lainnya.

Baca juga: Mengadu ke Komnas HAM, Kuasa Hukum Sebut Keluarga Vina Cirebon Masih Trauma

Pengacara yang mendampingi Saka, Titin Prialanti mengaku “sudah menempuh beragam cara” sejak masa-masa persidangan untuk membuktikan klaim itu.

Titin pernah melaporkan dugaan penghalangan bertemu dengan keluarga dan kuasa hukum, pemaksaan pengakuan sebagai pelaku, serta dugaan penyiksaan oleh penyidik ke Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Jawa Barat pada 7 September 2016.

Kemudian dia juga melaporkan hal itu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tanggal 13 September 2016, serta ke Komisi Yudisial pada 23 November 2016.

Laporan itu tidak membuahkan hasil dan proses hukum terus berjalan.

Baru belakangan ini, setelah kasus Vina kembali mengemuka, Saka mengaku ke publik bahwa dia menjadi “korban salah tangkap”.

“Saya ingin nama saya baik lagi seperti dulu, enggak dicap masyarakat, dipandang sebelah mata sebagai narapidana,” ujar Saka kepada wartawan Abdul Pahat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Baca juga: Komisi III Buka Kans Panggil Kabareskim soal Kasus Vina Cirebon

Dihubungi terpisah, Komisioner Komnas HAM Uli Parulian Sihombing membenarkan bahwa lembaga ini pernah menerima laporan tersebut.

Halaman:


Terkini Lainnya
Pakar ITB Ingatkan Pemerintah Lakukan Pemodelan Banjir yang Akurat Sebelum Relokasi Warga
Pakar ITB Ingatkan Pemerintah Lakukan Pemodelan Banjir yang Akurat Sebelum Relokasi Warga
Bandung
Ratusan Siswa di Bogor Sumbang Uang, Mukena, hingga Lilin bagi Korban Bencana Aceh dan Sumatera
Ratusan Siswa di Bogor Sumbang Uang, Mukena, hingga Lilin bagi Korban Bencana Aceh dan Sumatera
Bandung
Kepsek SD Tasikmalaya Diduga Cabuli 5 Remaja Putri Dalam Kamar Hotel di Pangandaran
Kepsek SD Tasikmalaya Diduga Cabuli 5 Remaja Putri Dalam Kamar Hotel di Pangandaran
Bandung
Polisi Tangkap Oknum Kades di Jatinangor karena Sabu, Jalani Rehab di Lido 6 Bulan
Polisi Tangkap Oknum Kades di Jatinangor karena Sabu, Jalani Rehab di Lido 6 Bulan
Bandung
Menko AHY Tinjau Langsung Pembangunan Flyover Nurtanio Bandung
Menko AHY Tinjau Langsung Pembangunan Flyover Nurtanio Bandung
Bandung
Dedi Mulyadi Pulangkan 47 Warga, 25 Lainnya Masih Terjebak di Takengon Aceh
Dedi Mulyadi Pulangkan 47 Warga, 25 Lainnya Masih Terjebak di Takengon Aceh
Bandung
Puluhan Pengajuan Izin Perumahan di Cimahi Disetop, Pemkot Tunggu Kajian Lingkungan
Puluhan Pengajuan Izin Perumahan di Cimahi Disetop, Pemkot Tunggu Kajian Lingkungan
Bandung
Ujaran Kebencian Streamer Viral, Polda Jabar Tetap Proses meski Pelaku Sudah Minta Maaf
Ujaran Kebencian Streamer Viral, Polda Jabar Tetap Proses meski Pelaku Sudah Minta Maaf
Bandung
Libur Natal dan Tahun Baru, Jalur Puncak Bogor Pakai Skema Buka-Tutup
Libur Natal dan Tahun Baru, Jalur Puncak Bogor Pakai Skema Buka-Tutup
Bandung
REI Jabar soal SE Dedi Mulyadi Moratorium Izin Perumahan: Mohon Dikaji Ulang...
REI Jabar soal SE Dedi Mulyadi Moratorium Izin Perumahan: Mohon Dikaji Ulang...
Bandung
Relokasi Korban Longsor Arjasari, Bupati Bandung Biayai Sewa Kontrakan 3 Bulan
Relokasi Korban Longsor Arjasari, Bupati Bandung Biayai Sewa Kontrakan 3 Bulan
Bandung
Wagub Jabar Desak Polisi Tangkap Streamer Pelaku Dugaan Ujaran Kebencian
Wagub Jabar Desak Polisi Tangkap Streamer Pelaku Dugaan Ujaran Kebencian
Bandung
Dugaan Ujaran Kebencian oleh Streamer, Polda Jabar: Kami Sudah Profiling Akun Pelaku
Dugaan Ujaran Kebencian oleh Streamer, Polda Jabar: Kami Sudah Profiling Akun Pelaku
Bandung
Pakan Satwa Bandung Zoo Menipis, Karyawan Galang Donasi di Pinggir Jalan
Pakan Satwa Bandung Zoo Menipis, Karyawan Galang Donasi di Pinggir Jalan
Bandung
Terminal Cicaheum Akan Jadi Depo BRT, Pemkot Bandung Desak Kemenhub Sosialisasi
Terminal Cicaheum Akan Jadi Depo BRT, Pemkot Bandung Desak Kemenhub Sosialisasi
Bandung
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau