Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyoal Dihapusnya 2 Nama DPO Usai Penangkapan Pegi Setiawan Terduga Pelaku Kasus Pembunuhan Vina

Kompas.com, 28 Mei 2024, 15:25 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Kepolisian Jawa Barat menghapus dua nama dari Daftar Pencarian Orang (DPO) usai penangkapan Pegi Setiawan, salah satu terduga pelaku pembunuhan Vina dan Eky delapan tahun lalu. Perkembangan terbaru kasus pembunuhan ini menambah daftar panjang kejanggalan di balik penyelidikan polisi.

Pegi Setiawan bersama dengan dua nama lain, Andi dan Dani, masuk dalam daftar buron dalam kasus pembunuhan yang viral tersebut. Namun, dalam konferensi pers pada Minggu (26/05), Polda Jawa Barat mengumumkan dua nama tersebut dihapus dari daftar buron.

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat, Kombes Pol Surawan, beralasan dua nama tersebut dihapus karena delapan pelaku yang sudah diamankan sebelumnya hanya "asal sebut" dan identitas keduanya belum dapat dibuktikan.

Baca juga: Linda, Teman Vina yang Diperiksa Polisi, Mengeklaim Tak Kenal Pegi

“Ada yang [menyebut] tersangka [buron] tiga nama berbeda, ada menerangkan lima, ada satu. Setelah dilakukan pendalaman, dua nama yang disebutkan selama ini, itu hanya asal sebut [oleh para tersangka]," ujar Surawan.

Hingga kini, total sembilan orang telah dijadikan tersangka dalam kasus pembunuhan Vina.

Keluarga Vina, melalui kuasa hukum Putri Maya Rumanti, mengaku kecewa dengan keputusan penghapusan dua nama tersebut dan mendesak kepolisian berpegang pada amar putusan pengadilan yang menetapkan bahwa DPO dalam kasus Vina berjumlah tiga orang.

“Di dalam amar putusan ini sudah jelas sebagai DPO yang harus dicari. Jadi pertanyaannya siapa yang paling bertanggung jawab atas kematian Vina dan Eky kalau dua DPO itu dihilangkan?" kata Putri.

Sementara, sosok Pegi juga hadir dalam konferensi pers tersebut. Ia terlihat beberapa kali menggeleng-geleng kepala saat polisi menjelaskan perannya dalam kasus Vina.

Baca juga: Kisruh soal Penangkapan Pegi dan Penghapusan DPO Pembunuhan Vina, Kompolnas Akan Minta Klarifikasi Polda Jabar

Di depan media dan kepolisian, ia membantah keterlibatannya dalam pembunuhan Vina dan Eky.

"Saya tidak pernah melakukan pembunuhan itu. Ini fitnah. Saya rela mati," tegas Pegi.

Pegi melalui kuasa hukumnya, Sugianti Iriani, akan mengajukan gugatan praperadilan. Menurut Sugianti, penetapan Pegi sebagai tersangka tidak sesuai prosedur dan merupakan “salah tangkap”. Karena penyelidikan seharusnya dimulai dari awal, bukan mengikuti alur delapan tahun lalu.

Kasus pembunuhan Vina dan Eky yang terjadi di Cirebon, Jawa Barat, kembali mengemuka setelah sebuah rumah produksi Dee Company mengadaptasi kisahnya menjadi film horor yang kontroversial berjudul Vina: Sebelum 7 Hari.

"Usut sampai tuntas"

Tersangka Dugaan Pembunuh Vina Dihadirkan Dalam Presconference di Mapolda JabarKOMPAS.COM/AGIE PERMADI Tersangka Dugaan Pembunuh Vina Dihadirkan Dalam Presconference di Mapolda Jabar
Dihubungi secara terpisah, pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan polisi harus membuktikan akuntabilitas penyelidikannya dalam kasus ini untuk menjawab berbagai klaim dan kejanggalan yang mengemuka.

Sebab klaim-klaim yang mengemuka itu, menurut Bambang, mengindikasikan pembuktian yang tidak cukup kuat terkait keterlibatan para terdakwa.

Dia mendesak Divisi Profesi dan Pengamanan serta Direktorat Kriminal Umum Polri menelusuri dan memeriksa kembali apakah penyidikan kasus ini pada 2016 lalu sudah berjalan sesuai prosedur.

Dua hal yang menurut Bambang penting untuk dibuka secara transparan.

Baca juga: Pegi Bantah Jadi Otak Pembunuhan, Kuasa Hukum Keluarga Vina: Itu Hak Dia untuk Berbicara

Pertama, mengapa polisi belum juga menangkap tiga orang pelaku yang menjadi buronan selama delapan tahun terakhir. Padahal menurut Bambang, “itu semestinya bukan hal yang sulit dilakukan oleh polisi”.

Kegagalan polisi menangkap tiga buronan dalam waktu delapan tahun membuat muncul spekulasi di media sosial yang menuding bahwa satu buron adalah anak dari perwira polisi. Namun, tuduhan itu dibantah oleh Polda Jawa Barat.

Kedua, polisi harus mempertanggungjawabkan proses penyelidikan kasus ini untuk menanggapi dugaan “salah tangkap” yang diungkap oleh salah satu terdakwa baru-baru ini.

Hanya saja menurut Bambang, pembuktian polisi saat menangani kasus ini terlalu bertumpu pada pengakuan dan kesaksian para terdakwa, yang disebut bisa saja muncul akibat intimidasi.

“Kalau tidak [diusut] risikonya akan muncul lagi keraguan masyarakat terhadap kinerja kepolisian, jangan-jangan ada yang direkayasa atau ditutup-tutupi. Divisi Propam harus hadir untuk menyelidiki apakah ada pelanggaran SOP dalam penyelidikan delapan tahun lalu,” kata Bambang kepada BBC News Indonesia, Senin (20/05).

Baca juga: Pegi Bantah Telah Membunuh Vina, Apakah Berpengaruh pada Proses Hukum?

Kepala Bidang Humas Polda Jawa Barat Komisaris Besar Jules Abraham Abast menegaskan, kepolisian akan bertindak transparan.

"Kalau terkait opini yang saat ini dibangun, kami minta seluruh warga masyarakat untuk menahan diri. Kami akan bekerja sebaik mungkin, secara transparan. Nanti ada waktunya akan kami sampaikan," ujar Jules kepada wartawan di Bandung, Yulia Saputra, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Mengaku korban salah tangkap

Saka Tatal (kanan) mengeklaim dirinya menjadi korban salah tangkapBBC Indonesia/ABDUL PAHAT Saka Tatal (kanan) mengeklaim dirinya menjadi korban salah tangkap
Sejauh ini, delapan orang telah divonis bersalah di pengadilan karena dinyatakan terbukti membunuh Vina dan Eky.

Salah satunya adalah Saka Tatal, yang sudah bebas usai menjalani masa tahanan selama tiga tahun delapan bulan.

Saka mengaku menjadi “korban salah tangkap” dan menyatakan dia “tidak ada di tempat kejadian” pada malam Vina dan Eky meninggal dunia.

Dia juga mengeklaim disiksa oleh polisi agar mau mengaku bersalah dalam kasus ini.

Akan tetapi, klaim itu berbeda dengan fakta-fakta persidangan yang terangkum di dalam putusan Pengadilan Negeri Cirebon bahwa Saka turut memukul Eky bersama para terdakwa lainnya.

Baca juga: Mengadu ke Komnas HAM, Kuasa Hukum Sebut Keluarga Vina Cirebon Masih Trauma

Pengacara yang mendampingi Saka, Titin Prialanti mengaku “sudah menempuh beragam cara” sejak masa-masa persidangan untuk membuktikan klaim itu.

Titin pernah melaporkan dugaan penghalangan bertemu dengan keluarga dan kuasa hukum, pemaksaan pengakuan sebagai pelaku, serta dugaan penyiksaan oleh penyidik ke Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Jawa Barat pada 7 September 2016.

Kemudian dia juga melaporkan hal itu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tanggal 13 September 2016, serta ke Komisi Yudisial pada 23 November 2016.

Laporan itu tidak membuahkan hasil dan proses hukum terus berjalan.

Baru belakangan ini, setelah kasus Vina kembali mengemuka, Saka mengaku ke publik bahwa dia menjadi “korban salah tangkap”.

“Saya ingin nama saya baik lagi seperti dulu, enggak dicap masyarakat, dipandang sebelah mata sebagai narapidana,” ujar Saka kepada wartawan Abdul Pahat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Baca juga: Komisi III Buka Kans Panggil Kabareskim soal Kasus Vina Cirebon

Dihubungi terpisah, Komisioner Komnas HAM Uli Parulian Sihombing membenarkan bahwa lembaga ini pernah menerima laporan tersebut.

Setelah itu, Uli mengatakan Komnas HAM telah meminta klarifikasi Irwasda Polda Jawa Barat untuk memeriksa penyidik atas dugaan penyiksaan dan penghalang-halangan kunjungan keluarga.

“Kami belum menerima jawaban Polda Jawa Barat,” kata Uli terkait permintaan klarifikasi itu.

Kini, Komnas HAM kembali bersurat ke Polda Jawa Barat untuk meminta keterangan mengenai perkembangan pencarian tiga orang buronan, tindak lanjut proses hukumnya, serta memastikan perlindungan dan pemenuhan hak atas keadilan dan kepastian hukum terhadap keluarga korban.

Klaim korban salah tangkap


Ibunda Pegi Setiawan, Kartini saat menunjukkan foto anak pertamanya Pegi, Kamis (23/5/2024). Pegi dianggap sebagai DPO dalam kasus pembunuhan Vina dan Eki yang berasal dari Desa Kepongpongan, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon 
Tribun Jabar/Eki Yulianto Ibunda Pegi Setiawan, Kartini saat menunjukkan foto anak pertamanya Pegi, Kamis (23/5/2024). Pegi dianggap sebagai DPO dalam kasus pembunuhan Vina dan Eki yang berasal dari Desa Kepongpongan, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon
Saka Tatal, terpidana yang telah bebas, mengaku dirinya tidak ada di tempat kejadian pada Sabtu, 27 Agustus 2016, ketika Vina dan Eky meninggal dunia.

“Saya ada di rumah paman sama kakak saya, sama paman saya, silang rumah tiga rumah dari sini. Saya di situ dari sebelum magrib sampai jam 10 [malam] lewat,” kata Saka.

Sekitar pukul 23.00, dia pergi ke bengkel karena radiator motor milik temannya rusak.

“Sebelum saya berangkat ke bengkel, saya kan mau lewat jalan layang tuh, ada polisi baru nyampe. Saya di tengah jalan berhenti melihat di atas ada polisi, saya kira ada razia, saya sama teman saya enggak pakai helm sama sekali,” ujar Saka.

Baca juga: Alasan Polisi Hapus 2 Nama DPO Pembunuhan Vina, Total Pelaku Jadi 9 Orang

Ketika melihat ada keramaian itu, Saka mengaku melanjutkan perjalanannya ke bengkel.

Dua orang itu yang menurut pihak Saka menjadi saksi bahwa dia tidak ada di tempat kejadian. Kuasa hukumnya, Titin mengatakan bahwa kedua orang tersebut turut mereka hadirkan di pengadilan sebagai saksi yang meringankan.

"Kami hadirkan [kedua saksi], tapi dicecar oleh hakim, 'Mana ada bengkel malam-malam buka?'" kata Titin.

Lalu bagaimana dia berujung ditangkap oleh polisi? Menurut versi Saka, dia mengaku berada di rumah neneknya pada 31 Agustus 2016.

“Saya duduk di rumah nenek sama teman-teman saya juga,” kata dia.

Saka kemudian disuruh mengisi bensin oleh saudaranya bernama Eka Santi, yang merupakan salah satu terdakwa pembunuhan.

Baca juga: Tim Kuasa Hukum Keluarga Vina Akan Dampingi Linda Saat Diperiksa Polda Jabar

Setelah mengisi bensin, Eka Santi meminta Saka mengantarkan motornya ke SMP 11. Ini adalah lokasi penangkapan para terdakwa.

“Pas baru sampai di situ, yang lain selain Eka Santi itu sudah ditangkap. Saya ke situ nyamperin. Kenapa saya nyamperin? Karena saya mau kembalikan motor, terus sudah, saya mau main,” kata dia.

“Habis nyamperin, langsung dibawa. Enggak ada keterangan saya ini salah apa, enggak ada. Enggak ngomong apa-apa, langsung dibawa. Enggak ada penjelasan sama sekali, langsung dibawa ke Polresta Cirebon,” kenang Saka.

Menurut pengacaranya, Saka juga ditangkap tanpa ada surat perintah penangkapan.

Selama di tahanan, Saka mengaku disiksa. Dia dipukuli, disetrum, dan dipaksa mengaku bersalah.

“Awalnya saya enggak ngaku terus, kekeuh. Kurang dari seminggu lah saya akhirnya mengakui, karena disiksa terus,” kata Saka.

Baca juga: 5 Update Pembunuhan Vina: Pegi Bantah Jadi Pelaku dan Respons Keluarga

“Kalau saya pribadi, masih ingatlah kejadian itu. Sampai sekarang masih membekas,” kata Saka.

Menurut Saka, dia bahkan "tidak mengenal Vina dan Eky" dan "tidak mengetahui kejadiannya di mana".

Secara terpisah, orang tua dari terdakwa bernama Sudirman juga masih meyakini anaknya tidak bersalah.

Ayah dari Sudirman, Suratno menyebut anaknya memiliki "keterbelakangan mental".

“Waktu kejadian umur [Sudirman] 20 tahun. Sudirman ini hanya lulus SD, tidak meneruskan karena anaknya keterbelakangan mental,” kata Suratno.

Oleh sebab itu, dia menyatakan anaknya "tidak pernah terlibat geng motor seperti yang dituduhkan". Sudirman juga disebut "baru belajar mengendarai motor" saat kasus itu terjadi.

Baca juga: Kuasa Hukum Vina Cirebon Minta Polisi Berpegang pada Putusan Pengadilan soal 3 Nama yang Buron

“Ditangkapnya setelah tiga hari kejadian. Demi Allah waktu kejadian itu anak saya di rumah. Anak saya keterbelakangan mental, tidak pernah bergaul, pendiam. Makanya waktu ditangkap itu saya kaget,” ujar Suratno.

Kepada Suratno, Sudirman bercerita bahwa dia "disuruh mengaku sebagai salah satu pembunuh Vina dan Eky".

“Sampai sekarang, delapan tahun, kalau saya besuk [di penjara], saya tanya, dia selalu bilang dipaksa untuk mengaku melakukan [pembunuhan],” ucap Suratno.

Fakta persidangan ungkap hal berbeda

Pegi alias Perong, sosok yang diduga menjadi otak pembunuhan Vina di Cirebon, dihadirkan Polda Jawa Barat dalam konferensi pers, Minggu (26/5/2024). 
Tribun/Tangkap Layar Kompas TV Pegi alias Perong, sosok yang diduga menjadi otak pembunuhan Vina di Cirebon, dihadirkan Polda Jawa Barat dalam konferensi pers, Minggu (26/5/2024).
Fakta-fakta persidangan yang tercantum dalam salinan putusan dalam kasus Saka mengungkapkan keterangan yang berbeda.

Saka disebut turut memukul korban Eky menggunakan tangan sebanyak satu kali, sehingga mengenai pipi Eky.

Kronologi kejadian yang terungkap menurut fakta persidangan menyebut bahwa Saka terlibat setelah diajak jalan-jalan menggunakan motor oleh salah satu terdakwa bernama Eka Sandi.

Mereka berkumpul dan minum minuman keras berupa tuak, namun Saka disebut tidak ikut minum.

Saat itulah kelompok geng motor XTC melintas, di antaranya Eky yang membonceng Vina. Para terdakwa disebut melempari dan mengejar Eky dan Vina.

Baca juga: 8 Terpidana Pembunuh Vina Sempat Cabut Keterangan, Apa Kata Polisi?

Eky dan Vina dipepet di sebuah jalan layang, dan di situ kedua korban disebut dipukuli. Di sinilah Saka disebut memukul Eky.

Setelah itu, para pelaku membawa Vina dan Eky ke belakang sebuah showroom mobil. Namun Saka tidak ikut karena disuruh pulang oleh kakaknya.

Menimbang fakta-fakta persidangan itu, Saka divonis delapan tahun penjara. Hakim turut mempertimbangkan status Saka sebagai anak berusia 16 tahun pada saat itu.

Bukti-bukti keterlibatan Saka antara lain batang bambu, sepeda motor, ponsel, dan batu.

Sementara itu, Sudirman – yang oleh orang tuanya disebut mengalami keterbelakangan mental – disebut turut memperkosa Vina berdasarkan berkas pengadilan. Sudirman divonis hukuman penjara seumur hidup.

Mengapa DPO tak kunjung ditangkap?

Marliyana memberikan keterangan kepada Kompas.com saat ditemui di rumahnya di Kampung Samadikun, Kecamatan Kejaksan, Kota Cirebon Jawa Barat pada Sabtu (11/5/2024) malam. Marliyana menyebut proses perizinan pembuatan film tiga hingga empat kali, hingga akhirnya pihak keluarga menyetujui.MUHAMAD SYAHRI ROMDHON/ Kompas.com Marliyana memberikan keterangan kepada Kompas.com saat ditemui di rumahnya di Kampung Samadikun, Kecamatan Kejaksan, Kota Cirebon Jawa Barat pada Sabtu (11/5/2024) malam. Marliyana menyebut proses perizinan pembuatan film tiga hingga empat kali, hingga akhirnya pihak keluarga menyetujui.
Setelah hampir delapan tahun berlalu, polisi juga menyatakan masih ada tiga pelaku dalam kasus tersebut yang masih menjadi buron, yakni atas nama Andi, Dani dan Pegi alias Perong.

Di dalam salinan putusan kasasi Mahkamah Agung, disebutkan bahwa Andi, Dani dan Pegi turut mengejar Vina dan Rizky menggunakan sepeda motor.

Andi disebut memukul Rizky dengan tangan kosong sebanyak lima kali sehingga mengenai bagian wajah sebelah kiri. Pegi memukul tubuh Rizky dua kali dengan tangan kosong. Dani memukul Rizky menggunakan kayu, sehingga mengenai bagian rahang belakang sebelah kanan.

Pegi dan Dani juga disebut memukul Vina dengan tangan kosong.

Baca juga: Pegi Teriak Fitnah, Ini Fakta Baru Penangkapan Tersangka Kasus Pembunuhan Vina

Kemudian mereka membawa Vina dan Rizky ke lahan kosong di belakang sebuah showroom mobil.

Di sana, Pegi disebut memukul dan menyabet samurai pendek berbentuk pipa ke tubuh Rizky, Dani menusuknya ke bagian perut sebelah kiri sehingga "Rizky meninggal dunia di tempat".

Dani, Pegi, dan Andi juga disebut terlibat memperkosa dan melecehkan Vina.

Polda Jabar telah merilis ciri-ciri fisik ketiganya, namun tidak ada foto atau sketsa wajah pelaku yang disertakan.

Ketiga DPO disebut sebagai warga Desa Banjarwangun, Mundu, Kabupaten Cirebon.

Namun Kepala Desa Banjarwangun, Sulaeman mengatakan tidak ada warganya yang sesuai dengan ciri-ciri tersebut.

Baca juga: Ekspresi Pegi Geleng-geleng Kepala Saat Konferensi Pers Disorot, Bantah Bunuh Vina Cirebon

Sementara itu, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat Kombes Surawan mengaku kesulitan memburu ketiga buronan karena delapan terdakwa lainnya mencabut keterangan mereka untuk tidak mengakui keterlibatan mereka, termasuk soal tiga buronan tersebut.

Pencabutan keterangan itu terjadi ketika berkas perkara kedelapan terdakwa dilimpahkan dari Polres Cirebon ke Polda Jawa Barat.

"Mereka beramai-ramai mencabut keterangannya dan tidak mengakui perbuatannya, termasuk keterangan soal tiga DPO ini," kata Surawan.

"Itu kesulitan kita. Jadi saat di Cirebon, mereka kooperatif. Tapi saat dilimpahkan ke Polda, para tersangka mencabut keterangannya baik terhadap dirinya sendiri maupun ketiga DPO itu. Sehingga kita susah menelusuri di situ," ujar Surawan.

Pengamat kepolisian Bambang Rukminto mengatakan lamanya waktu yang dibutuhkan oleh polisi untuk menangkap ketiga pelaku "tidak wajar". Termasuk identitas asli ketiganya yang belum juga dapat dipastikan.

Baca juga: Jadi Tersangka Pembunuhan Vina, Pegi Perong Bakal Ajukan Praperadilan

"Polisi harus menjelaskan apakah tiga orang itu sebenarnya ada atau tidak ada? Kalau tidak ada juga harus dijelaskan kepada publik. Apalagi yang delapan orang sudah dihukum, sangat tidak masuk akal tiga orang itu tidak terungkap," kata Bambang.

"Mereka itu kan katanya kelompok geng motor, punya identitas, saling berteman. Jadi semestinya informasi itu ada. Aneh juga ketika kepala desa mengatakan tidak ada nama ketiga DPO itu," sambungnya.

Diminta audit proses penyelidikan

Polisi menggeledah rumah Pegi Setiawan, terduga pembunuh Vina, pelajar asal Cirebon dan pacarnya, Eki, di RT 2 RW 2 Blok Simaja, Desa Kepompong, Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Rabu (22/5/2024)KOMPAS.com/Muhamad Syahri Romdhon Polisi menggeledah rumah Pegi Setiawan, terduga pembunuh Vina, pelajar asal Cirebon dan pacarnya, Eki, di RT 2 RW 2 Blok Simaja, Desa Kepompong, Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Rabu (22/5/2024)
Bambang Rukminto dari ISSES menilai mengemukanya klaim-klaim soal kejanggalan dalam kasus Vina mengindikasikan bahwa pembuktian terkait keterlibatan para terdakwa kurang kuat.

Bukti-bukti yang terlampir terkait Saka misalnya, menurut Bambang adalah bukti yang umum dalam perkara ini.

"Tidak spesifik terkait dengan Saka. Sekian banyak sepeda motor, ponsel apakah digunakan oleh Saka sendiri? Tentunya tidak mungkin. Makanya peran tersangka Saka dalam kasus pembunuhan tersebut juga harus dinyatakan secara spesifik dan detil," jelas Bambang.

Dalam kasus ini, Bambang menduga penyidik terlalu banyak bertumpu pada pengakuan terdakwa – yang bisa saja didapat melalui intimidasi – serta pengakuan para saksi.

Baca juga: Pegi Bantah Bunuh Vina, Teriak Ini Fitnah di Depan Polisi dan Wartawan

Padahal menurutnya, polisi semestinya mampu membuktikan sebuah tindak pidana secara saintifik.

"Masih jadi kebiasaan polisi mengutamakan pengakuan tersangka ketimbang bukti-bukti yang saintifik," ujar Bambang.

"Mereka sering melakukan tindakan intimidatif dan kekerasan. Padahal di kepolisian di negara-negara yang lebih maju, pengakuan tersangka punya bobot yang sangat kecil," kata dia,

Dia menuturkan klaim-klaim terkait kejanggalan dalam kasus ini mesti ditanggapi serius oleh Polri demi menjaga kepercayaan publik terhadap proses penegakan hukum.

Terlebih, polisi memiliki rekam jejak terkait dugaan rekayasa kasus dan penggunaan kekerasan terhadap tahanan.

"Karena kasus ini sudah viral dan jadi perhatian masyarakat, polisi harus mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan delapan tahun lalu lewat penyelidikan ulang atau penyelidikan terkait kesalahan prosedur sendiri," kata Bambang.

Baca juga: Kakak Vina Bingung dengan Pernyataan Polisi yang Hapus 2 Nama Pelaku dalam DPO

"Propam harus turun untuk audit investigasi pada proses penyelidikan maupun penyidikan delapan tahun yang lalu," tuturnya.

Proses ini dinilai penting untuk mengungkap kebenarannya secara terang, sehingga memberi keadilan bagi keluarga korban soal peristiwa yang sesungguhnya terjadi.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Tak Bisa Turun dari Atap dan Terjebak Berjam-jam, Kakek di Bogor Dievakuasi Damkar Pakai Tandu ke Rumah Sakit
Tak Bisa Turun dari Atap dan Terjebak Berjam-jam, Kakek di Bogor Dievakuasi Damkar Pakai Tandu ke Rumah Sakit
Bandung
Dedi Mulyadi Jemput Warga Jabar yang Terdampak Banjir di Aceh
Dedi Mulyadi Jemput Warga Jabar yang Terdampak Banjir di Aceh
Bandung
Soal Penolakan Warga Terminal Cicaheum, Farhan Upayakan Relokasi ke TOD BRT Paling Ramai
Soal Penolakan Warga Terminal Cicaheum, Farhan Upayakan Relokasi ke TOD BRT Paling Ramai
Bandung
Forum Kiai NU Jawa Desak Pembentukan Panitia MLB, Nama Rhoma Irama Disebut
Forum Kiai NU Jawa Desak Pembentukan Panitia MLB, Nama Rhoma Irama Disebut
Bandung
Pakar Hukum Ingatkan Dedi Mulyadi: Surat Edaran Tidak Bisa Dibuat Seenaknya
Pakar Hukum Ingatkan Dedi Mulyadi: Surat Edaran Tidak Bisa Dibuat Seenaknya
Bandung
Pakar ITB Ingatkan Pemerintah Lakukan Pemodelan Banjir yang Akurat Sebelum Relokasi Warga
Pakar ITB Ingatkan Pemerintah Lakukan Pemodelan Banjir yang Akurat Sebelum Relokasi Warga
Bandung
Ratusan Siswa di Bogor Sumbang Uang, Mukena, hingga Lilin bagi Korban Bencana Aceh dan Sumatera
Ratusan Siswa di Bogor Sumbang Uang, Mukena, hingga Lilin bagi Korban Bencana Aceh dan Sumatera
Bandung
Kepsek SD Tasikmalaya Diduga Cabuli 5 Remaja Putri Dalam Kamar Hotel di Pangandaran
Kepsek SD Tasikmalaya Diduga Cabuli 5 Remaja Putri Dalam Kamar Hotel di Pangandaran
Bandung
Polisi Tangkap Oknum Kades di Jatinangor karena Sabu, Jalani Rehab di Lido 6 Bulan
Polisi Tangkap Oknum Kades di Jatinangor karena Sabu, Jalani Rehab di Lido 6 Bulan
Bandung
Menko AHY Tinjau Langsung Pembangunan Flyover Nurtanio Bandung
Menko AHY Tinjau Langsung Pembangunan Flyover Nurtanio Bandung
Bandung
Dedi Mulyadi Pulangkan 47 Warga, 25 Lainnya Masih Terjebak di Takengon Aceh
Dedi Mulyadi Pulangkan 47 Warga, 25 Lainnya Masih Terjebak di Takengon Aceh
Bandung
Puluhan Pengajuan Izin Perumahan di Cimahi Disetop, Pemkot Tunggu Kajian Lingkungan
Puluhan Pengajuan Izin Perumahan di Cimahi Disetop, Pemkot Tunggu Kajian Lingkungan
Bandung
Ujaran Kebencian Streamer Viral, Polda Jabar Tetap Proses meski Pelaku Sudah Minta Maaf
Ujaran Kebencian Streamer Viral, Polda Jabar Tetap Proses meski Pelaku Sudah Minta Maaf
Bandung
Libur Natal dan Tahun Baru, Jalur Puncak Bogor Pakai Skema Buka-Tutup
Libur Natal dan Tahun Baru, Jalur Puncak Bogor Pakai Skema Buka-Tutup
Bandung
REI Jabar soal SE Dedi Mulyadi Moratorium Izin Perumahan: Mohon Dikaji Ulang...
REI Jabar soal SE Dedi Mulyadi Moratorium Izin Perumahan: Mohon Dikaji Ulang...
Bandung
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau