Editor
Menimbang fakta-fakta persidangan itu, Saka divonis delapan tahun penjara. Hakim turut mempertimbangkan status Saka sebagai anak berusia 16 tahun pada saat itu.
Bukti-bukti keterlibatan Saka antara lain batang bambu, sepeda motor, ponsel, dan batu.
Sementara itu, Sudirman – yang oleh orang tuanya disebut mengalami keterbelakangan mental – disebut turut memperkosa Vina berdasarkan berkas pengadilan. Sudirman divonis hukuman penjara seumur hidup.
Setelah hampir delapan tahun berlalu, polisi juga menyatakan masih ada tiga pelaku dalam kasus tersebut yang masih menjadi buron, yakni atas nama Andi, Dani dan Pegi alias Perong.
Di dalam salinan putusan kasasi Mahkamah Agung, disebutkan bahwa Andi, Dani dan Pegi turut mengejar Vina dan Rizky menggunakan sepeda motor.
Andi disebut memukul Rizky dengan tangan kosong sebanyak lima kali sehingga mengenai bagian wajah sebelah kiri. Pegi memukul tubuh Rizky dua kali dengan tangan kosong. Dani memukul Rizky menggunakan kayu, sehingga mengenai bagian rahang belakang sebelah kanan.
Pegi dan Dani juga disebut memukul Vina dengan tangan kosong.
Baca juga: Pegi Teriak Fitnah, Ini Fakta Baru Penangkapan Tersangka Kasus Pembunuhan Vina
Kemudian mereka membawa Vina dan Rizky ke lahan kosong di belakang sebuah showroom mobil.
Di sana, Pegi disebut memukul dan menyabet samurai pendek berbentuk pipa ke tubuh Rizky, Dani menusuknya ke bagian perut sebelah kiri sehingga "Rizky meninggal dunia di tempat".
Dani, Pegi, dan Andi juga disebut terlibat memperkosa dan melecehkan Vina.
Polda Jabar telah merilis ciri-ciri fisik ketiganya, namun tidak ada foto atau sketsa wajah pelaku yang disertakan.
Ketiga DPO disebut sebagai warga Desa Banjarwangun, Mundu, Kabupaten Cirebon.
Namun Kepala Desa Banjarwangun, Sulaeman mengatakan tidak ada warganya yang sesuai dengan ciri-ciri tersebut.
Baca juga: Ekspresi Pegi Geleng-geleng Kepala Saat Konferensi Pers Disorot, Bantah Bunuh Vina Cirebon
Sementara itu, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat Kombes Surawan mengaku kesulitan memburu ketiga buronan karena delapan terdakwa lainnya mencabut keterangan mereka untuk tidak mengakui keterlibatan mereka, termasuk soal tiga buronan tersebut.
Pencabutan keterangan itu terjadi ketika berkas perkara kedelapan terdakwa dilimpahkan dari Polres Cirebon ke Polda Jawa Barat.
"Mereka beramai-ramai mencabut keterangannya dan tidak mengakui perbuatannya, termasuk keterangan soal tiga DPO ini," kata Surawan.
"Itu kesulitan kita. Jadi saat di Cirebon, mereka kooperatif. Tapi saat dilimpahkan ke Polda, para tersangka mencabut keterangannya baik terhadap dirinya sendiri maupun ketiga DPO itu. Sehingga kita susah menelusuri di situ," ujar Surawan.
Pengamat kepolisian Bambang Rukminto mengatakan lamanya waktu yang dibutuhkan oleh polisi untuk menangkap ketiga pelaku "tidak wajar". Termasuk identitas asli ketiganya yang belum juga dapat dipastikan.
Baca juga: Jadi Tersangka Pembunuhan Vina, Pegi Perong Bakal Ajukan Praperadilan
"Polisi harus menjelaskan apakah tiga orang itu sebenarnya ada atau tidak ada? Kalau tidak ada juga harus dijelaskan kepada publik. Apalagi yang delapan orang sudah dihukum, sangat tidak masuk akal tiga orang itu tidak terungkap," kata Bambang.
"Mereka itu kan katanya kelompok geng motor, punya identitas, saling berteman. Jadi semestinya informasi itu ada. Aneh juga ketika kepala desa mengatakan tidak ada nama ketiga DPO itu," sambungnya.
Polisi menggeledah rumah Pegi Setiawan, terduga pembunuh Vina, pelajar asal Cirebon dan pacarnya, Eki, di RT 2 RW 2 Blok Simaja, Desa Kepompong, Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Rabu (22/5/2024)Bukti-bukti yang terlampir terkait Saka misalnya, menurut Bambang adalah bukti yang umum dalam perkara ini.
"Tidak spesifik terkait dengan Saka. Sekian banyak sepeda motor, ponsel apakah digunakan oleh Saka sendiri? Tentunya tidak mungkin. Makanya peran tersangka Saka dalam kasus pembunuhan tersebut juga harus dinyatakan secara spesifik dan detil," jelas Bambang.
Dalam kasus ini, Bambang menduga penyidik terlalu banyak bertumpu pada pengakuan terdakwa – yang bisa saja didapat melalui intimidasi – serta pengakuan para saksi.
Baca juga: Pegi Bantah Bunuh Vina, Teriak Ini Fitnah di Depan Polisi dan Wartawan
Padahal menurutnya, polisi semestinya mampu membuktikan sebuah tindak pidana secara saintifik.
"Masih jadi kebiasaan polisi mengutamakan pengakuan tersangka ketimbang bukti-bukti yang saintifik," ujar Bambang.
"Mereka sering melakukan tindakan intimidatif dan kekerasan. Padahal di kepolisian di negara-negara yang lebih maju, pengakuan tersangka punya bobot yang sangat kecil," kata dia,
Dia menuturkan klaim-klaim terkait kejanggalan dalam kasus ini mesti ditanggapi serius oleh Polri demi menjaga kepercayaan publik terhadap proses penegakan hukum.
Terlebih, polisi memiliki rekam jejak terkait dugaan rekayasa kasus dan penggunaan kekerasan terhadap tahanan.
"Karena kasus ini sudah viral dan jadi perhatian masyarakat, polisi harus mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan delapan tahun lalu lewat penyelidikan ulang atau penyelidikan terkait kesalahan prosedur sendiri," kata Bambang.
Baca juga: Kakak Vina Bingung dengan Pernyataan Polisi yang Hapus 2 Nama Pelaku dalam DPO
"Propam harus turun untuk audit investigasi pada proses penyelidikan maupun penyidikan delapan tahun yang lalu," tuturnya.
Proses ini dinilai penting untuk mengungkap kebenarannya secara terang, sehingga memberi keadilan bagi keluarga korban soal peristiwa yang sesungguhnya terjadi.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang