SUKABUMI, KOMPAS.com - Bupati Sukabumi, Marwan Hamami, meminta perusahaan tambang yang beroperasi di daerah terdampak bencana untuk memberikan Corporate Social Responsibility (CSR) kepada warga penyintas.
Permintaan ini disampaikan terkait dengan bencana alam yang diduga dipicu oleh aktivitas pertambangan.
“Ada CSR wajib kan (dikeluarkan, perusahaan) tambang, dari CSR itulah harusnya mereka membantu (warga masyarakat) yang terkena dampak bencana,” kata Marwan saat memberikan keterangan di pendopo Kabupaten Sukabumi, Selasa (17/12/2024).
Baca juga: Tambang Picu Bencana Sukabumi, Bupati Curhat soal Perizinan di Pusat
Marwan mengakui, ia belum mengetahui secara detail apakah aktivitas tambang di Kabupaten Sukabumi menjadi penyebab utama terjadinya bencana.
Ia juga menyatakan, pihaknya akan mendalami kajian yang dikeluarkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, yang menduga kerusakan hutan akibat pertambangan menjadi pemicu bencana banjir dan longsor di daerah tersebut.
“Pasti kalau itu (pengkajian hasil temuan Walhi),” lanjut Marwan.
Baca juga: Status Tanggap Darurat Bencana Sukabumi Diperpanjang Satu Minggu
Sebelumnya, Deputi Eksternal Eksekutif Nasional Walhi, Mukri Friatna menyampaikan, pemantauan citra satelit menunjukkan, sedikitnya dua kawasan hutan, yaitu Pegunungan Guha dan Dano, mengalami kehancuran tutupan hutannya. Diduga kuat disebabkan aktivitas pertambangan.
"Sejak tahun 2015, Walhi telah menolak kehadiran pabrik semen tersebut karena dikhawatirkan berpotensi menghancurkan kawasan kars yang menjadi bahan baku semen," ungkap Mukri dalam rilis yang dikeluarkan Walhi Jabar.
Hasil investigasi menunjukkan, tidak hanya kawasan Guha dan Dano yang mengalami degradasi, namun juga terdapat kerusakan hutan dan lingkungan akibat tambang emas serta tambang galian kuarsa untuk bahan pembuatan semen.
"Tidak salah jika kawasan hutan berubah fungsi, yang dapat meningkatkan run off akibat kegiatan ini. Kami mencurigai bahwa tanaman kaliandra dan gamal hanya menjadi kedok untuk menutupi tambang-tambang ilegal yang kemudian dipanen untuk kebutuhan suplai serbuk kayu," ujar Wahyudin.
Manajer Penanganan dan Pencegahan Bencana Walhi, Melva Harahap menambahkan, setelah masa tanggap darurat dicabut pemerintah, Walhi mempertimbangkan untuk menempuh jalur hukum terhadap pihak-pihak yang diduga kuat berkontribusi pada bencana ekologis di Sukabumi.
“Kami berharap kepada pemerintah untuk tidak gegabah memberikan perizinan kepada perusahaan ekstraktif dengan alasan investasi. Di sejumlah tempat, bencana yang terjadi disebabkan oleh perusahaan ekstraktif menjadi pelajaran berharga," pungkas Melva.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang