BOGOR, KOMPAS.com - Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol mendesak Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, segera merevisi tata ruang wilayah provinsinya yang dinilai bermasalah.
Hal tersebut disampaikan Hanif menyusul jatuhnya korban jiwa akibat bencana longsor dan banjir di kawasan Puncak Bogor akhir pekan lalu.
Baca juga: Gaji Honorer Tak Cukup, Keponakan Dedi Mulyadi Jualan Gorengan hingga Raup Rp 2 Juta Sehari
Hanif menegaskan, perubahan tata ruang Jawa Barat tahun 2022 telah menyimpang dari Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan berdampak pada hilangnya 1,2 juta hektare kawasan lindung.
"Dampaknya seperti ini. Sudah banyak korban jiwa. Saya telah meminta Bapak Gubernur untuk segera kembali ke KLHS yang pernah dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup sebelumnya. Tata ruangnya harus direvisi," kata Hanif saat meninjau lokasi longsor di kawasan Puncak, Senin (7/7/2025).
Ia menilai, dokumen tata ruang 2022 telah mengubah fungsi kawasan yang sebelumnya bersifat lindung menjadi non-lindung, termasuk di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dan Cimandiri.
Baca juga: Alasan Farhan Tolak Usulan Dedi Mulyadi Bongkar Teras Cihampelas: Nilainya Rp 80 Miliar
Kondisi tersebut memperbesar risiko bencana hingga berujung menimbulkan korban jiwa.
Selama ini, perubahan tata ruang tidak sesuai dengan arahan kajian KLHS yang seharusnya menjadi acuan.
"Ternyata di tata ruang Jawa Barat ini benar-benar mengubah dari yang dimintakan oleh kajian lingkungan hidup strategis oleh para pemutus kebijakan di Jawa Barat," ujarnya.
Menurut Hanif, revisi tata ruang sangat mendesak karena bencana terus berulang di kawasan rawan seperti Puncak atau DAS Ciliwung dan DAS Cimandiri.
Ia mencatat, bencana banjir dan longsor di wilayah tersebut kerap menimbulkan korban jiwa dalam dua tahun terakhir.
Apalagi, kawasan Puncak kini juga menjadi langganan banjir dan longsor yang terus menelan korban jiwa.
"Kalau sudah menimbulkan korban berlarut-larut seperti ini, tidak menutup kemungkinan kami akan menyelidiki perubahan tata ruang Jawa Barat yang menyebabkan banjir dan longsor makin parah,” tegasnya.
Hanif menyatakan, Kementerian Lingkungan Hidup akan mendalami apakah perubahan fungsi ruang itu akibat kelalaian atau kesengajaan. Ia menyebut, penyimpangan ini tak bisa lagi ditoleransi.
“Dari 1,6 juta hektare kawasan lindung pada 2010, tinggal 400 ribu hektare yang tersisa di tata ruang 2022. Ini yang 1,2 juta hektare hilang, ada kepentingan apa sampai berubah? Korban sudah berjatuhan, ini tidak bisa dibiarkan,” katanya.
Menurut dia, KLHS seharusnya menjadi rujukan utama dalam penyusunan tata ruang, bukan justru diabaikan. Ia menyebut Kementerian akan bertindak tegas dan menyelidiki pihak-pihak yang terlibat dalam penetapan tata ruang tersebut.