KOMPAS.com - Parasetamol dan sejumlah limbah obat-obatan lainnya ditemukan di berbagai lokasi aliran Sungai Citarum, Jawa Barat.
Khusus parasetamol, kadarnya bahkan dua kali lipat lebih tinggi dari yang didapati di Teluk Jakarta dalam penelitian berbeda.
Baca juga: Kata Satgas soal Air Sungai Citarum: Menghitam karena Endapan, Tak Ada Ikan Mati
Melalui kajian yang ditempuh sejumlah peneliti dari Universitas York, Inggris, diketahui ada beragam zat aktif mencemari Sungai Citarum.
Selain parasetamol, terdapat nikotin, carbamazepine yang biasa digunakan sebagai obat epilepsi, serta metformin yang kerap dipakai sebagai obat diabetes. Ada pula limbah sejumlah obat antibiotik.
Baca juga: Sungai Citarum Menghitam dan Bau, Satgas Temukan Pencemaran dari Limbah Rumah Tangga
Berdasarkan data dari 10 lokasi pengambilan sampel di aliran Sungai Citarum, sampel di dua lokasi menunjukkan bahwa kadar parasetamol mencapai 1630 nG/L dan 1590 nG/L.
Jumlah ini jauh lebih tinggi ketimbang temuan parasetamol di Teluk Jakarta yang diungkap para peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta Universitas Brighton, Inggris, pada 2021.
Jika ditinjau dari angka rata-rata konsentrasi limbah obat-obatan yang terakumulasi—berdasarkan kajian Universitas York—limbah di Sungai Citarum memang jauh di bawah tingkat keparahan sungai di Lahore, Pakistan.
Sungai Citarum mencapai 5460 ng/L, sedangkan Sungai Ravi di Lahore adalah yang terparah dengan 70.700 ng/L.
Angka ini, sebagaimana dipaparkan penelitian ini, mencerminkan kenyataan bahwa pencemaran limbah obat-obatan atau farmaseutikal di berbagai sungai di dunia menimbulkan "ancaman terhadap lingkungan dan kesehatan dunia".
Kajian ini meneliti sampel dari 1.052 lokasi di 104 negara. Hasilnya, sekitar 25 persen dari 258 sungai yang sampelnya diteliti mengandung "zat aktif obat-obatan" pada tingkatan yang diyakini tidak aman bagi organisme perairan.
"Biasanya, yang terjadi adalah kita mengonsumsi zat kimia ini. Zat tersebut menghasilkan efek yang diinginkan kemudian meninggalkan tubuh kita," kata Dr John Wilkinson, selaku ketua tim penelitian, kepada BBC News.