Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PP Nomor 24 Tahun 2022 Disambut YouTuber, Pengamat: Perbankan Harus Berhati-Hati

Kompas.com - 29/07/2022, 08:00 WIB
M. Elgana Mubarokah,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo telah menerbitkan dan menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) nomor 24 tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan UU nomor 24 tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif.

Dikutip dari Kontan, Selasa (19/7/2022), Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno mengatakan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2022 tersebut salah satunya mengatur skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual atau intellectual property (IP).

Tujuan dari penerbitan PP No.24/Tahun 2022 tersebut memudahkan pelaku ekonomi kreatif (ekraf) mendapatkan sumber pembiayaan dari lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan non-bank.

Salah satu YouTuber asal Kabupaten Bandung Asep Balon menyambut dengan sukacita PP No.24/Tahun 2022 tersebut.

Baca juga: TKW Asal Blitar Sukses Jadi YouTuber, Disorot Media Asing hingga Bisa Bangun Rumah di Kanada

Namun, ia masih belum tahu aturan terkait konten yang bisa menjadi agunan itu.

"Selaku penggiat dan konten kreator untuk YouTube atau istilahnya YouTuber, secara pribadi seneng dengarnya. Walaupun agak sanksi juga dengan bagaimana prosedurnya seperti apa, terus syarat-syarat detailnya seperti apa," katanya dikonfirmasi Kompas.com, Kamis (28/7/2022).

Asep melihat aturan tersebut sebagai bentuk keberpihakan pemerintah, juga bentuk apresiasi kepada pekerja seni, khususnya yang menjadi konten kreator di YouTube.

"Tapi yang jelasnya, bagi musisi, ataupun konten kreator, atau pekerja seni, ini adalah sebuah upgrade. Jadi bisa lebih diapresiasi, bisa lebih dipercaya, karena sejauh ini masih abu-abu gitu," terangnya.

YouTuber yang pernah berkolaborasi dengan Kaka Slank ini mengungkapkan, selama ini pelaku seni seperti konten kreator masih kesulitan mendapatkan bantuan biaya untuk pengembangan konten.

"Bahkan saya pribadi ketika butuh modal untuk berkreasi, itu belum bisa karena kan biasanya butuh slip gaji lah atau lainnya. Sementara kita kan tidak punya slip gaji yang tetap seperti itu ya, adapun penghasilan itu berasal dari YouTube atau kegiatan off air," jelasnya.

Asep mengaku, belum berniat menjadikan kontennya sebagai aggunan. Namun tak menutup kemungkinan untuk pengembangan konten, pihaknya akan mengajukan agunan.

"Belum tau, tergantung kebutuhan, mungkin siapa tau sewaktu-waktu saya butuh, Atau mau bikin apa, modal usaha atau studi atau album bisa lah," terang dia.

Asep Balon berharap, pemerintah bisa meningkatkan sosialisasi terkait peraturan tersebut.

"Nah itu wajib sih kalau bagi saya karena sampai hari ini saya pribadi belum tau detailnya seperti apa. Jadi kayaknya sosialisasi yang penting," ujar dia.

Pandangan Pengamat

Sementara pengamat ekonomi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Setia Mulyawan mengatakan adanya aturan tersebut merupakan terobosan.

"Jadi kira-kira begini, itukan terobosannya tentang pengakuan nilai ekonomis atas hak kekayaan intelektual, jadi terobosan barunya itu hak-hak atas kekayaan intelektual bisa menjadi agunan di perbankan," jelasnya.

Setia melihat, hal ini merupakan kabar baik bagi para pelaku ekonomi di Indonesia. Paling tidak, katanya, kekayaan intelektual diapresiasi oleh negara.

"Jadi tentunya ini sesuatu yang baru dan tentu harus kita sambut baik, karya intelektual yang telah memperoleh pengakuan haki, itu bisa dijadikan agunan di perbankan. Tentunya hal ini menjadi kabar gembira bagi para pelaku ekonomi kreatif," ujarnya.

"Karena dengan demikian akses mereka terhadap sumber pembiayaan menjadi lebih terbuka. Karena karya intelktual mereka memiliki nilai ekonomis untuk menjadi jaminan perbankan," tambahnya.

Namun, ia memberikan catatan terkait PP tersebut. Pemerintah, kata Setia mesti melakukan langkah yang lebih operasional.

Pasalnya, bukan perkara mudah mengukur Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) menjadi nilai ekonomis.

"Pihak perbankan itu masih harus mengkaji, mempelajari bagaimana teknisnya. Jadi sekarang tidak harus lagi slip gaji, dan lain halnya," beber dia.

Perbankan, kata Setia, diatur oleh Prudensial Prinsipel. Artinya, diperlukan kehati-hatian dalam mengeluarkan dan perbankan untuk masyarakat, terutama soal PP tersebut.

"Tapi perbankan harus menkaji itu bagaimana cara mengukur nilai ekonomis dari kekayaan intelektual tersebut, karena perbankan kan juga diatur oleh ketentuan prudensial prinsipel ya, kehati-hatian perbankan. Jadi perbankan juga harus berhati-hatk mengambil resiko, karna dana perbankan itu juga dana masyarakat. Kalau tidak presisi menilai, ditakutkan mengambil resiko terlalu besar," terangnya.

Sejauh ini, sambung Setia, tidak ada rumus khusus secara ekonomi menilai karya seni.

Akan tetapi dari persepektif ekonomi, selama karya itu bisa dijual, maka akan akan terbangun nilai ekonomis.

" Tapi kalau untuk besaran nilainya, itu kemudian bergantung dari pasar seberapa berani membeli," tambahnya.

Kemudian, Setia menjelaskan perlunya melihat pasar dalam penerapan PP tersebut.

"Kalau berbicara pasar, itu kan berati berbicara hukum permintaan-penawaran, kalau peminatnya banyak, otomatis harganya akan tinggi," ungkapnya.

Baca juga: Kanal YouTube Persib Bandung Diretas, hingga Rabu Pagi Hilang dari Pencarian

Setia mengungkapkan, baik pemerintah atau perbankan harus berhati-hati dalam mengkaji PP tersebut, lantaran karya seni yang bernilai ekonomis sifatnya masih fluktuatif.

Pasalnya, tidak semua konsumen mampu memberi nilai atau membeli produk tersebut dengan nilai yang sama.

"Nah karya inikan termasuk dalam intangible asset (tak berwujud tapi bernilai), tidak seperti tanah misalnya, yang nilainya cenderung tidak mengalami penurunan. Atau misalnya bangunan, itukan bisa dihitung harga wajar kenaikannya. Sementara kalau karya atau hak kekayaan intelektual sebagai intengible aset, itukan harganya akan sangat fluktuatif, karena tidak semua orang bisa memberi nilai yang sama akan produk itu," sambung dia.

"Seperti misalnya kita melihat lukisan, mungkin yang tidak suka lukisan akan menghargainua dengan murah, tapi bagi yang suka, akanemberi harga mahal. Jadi memang untuk kategori intengible aset memang tidak ada standar untuk mengukurnya. Jadi memang subjektivitasnya tinggi," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com