"Jadi yang diburu atau dikendalikan populasinya adalah babi hutan yang ada di sawah, ladang, atau kebun penduduk, bukan babi hutan yang ada di tengah hutan," ujar Solihin.
Solihin menyebut, berburu untuk mengendalikan hama babi juga harus mempunyai lisensi berburu, minimal terdaftar di Perbakin. Senjata apinya pun harus memiliki izin resmi.
Pengendalian populasi babi hutan di hutan, tugasnya karnivora besar yang juga ada di hutan.
Kalau babi diburu untuk dijual dan habis, pakan alami karnivora besar menjadi berkurang. Hal ini bisa memicu konflik hewan dengan manusia.
"Seperti bulan puasa kemaren, induk macan kumbang turun bersama dua ekor anaknya dan memangsa domba ternak warga," tutur dia.
Solihin menyebut, kepemilikan senjata api rakitan ini memang umum di masyarakat. Beberapa turun temurun sejak perang zaman Belanda. Kadang mereka membawa senjata ke hutan untuk berjaga-jaga kalau ketemu hewan buas.
Menurutnya, hal ini perlu penyuluhan. Sebab sesuai UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951, sanksi pidana kepemilikan senjata api ilegal maksimal hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Sedangkan dalam Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2018, senapan angin, termasuk pistol angin dan air soft gun masuk dalam kategori senjata api.
Senjata itu hanya boleh digunakan di lapangan tembak untuk olahraga, tidak untuk berburu, apalagi satwa dilindungi.
Jadi, kepemilikan senapan angin pun jika tanpa izin bisa dikenai sanksi sesuai UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
Sedangkan sanksi pidana berburu satwa dilindungi, sesuai pasal 50 (ayat) 2 UU Nomor 5 Tahun 1990 adalah pidana kurungan penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.