Perjuangan untuk menjemur Kemala agar sembuh dari penyakit kuningnya bukan tanpa rintangan.
Siapapun, baik Elisa atau Yayah mesti berjalan sekitar 200 meter dari kediamannya, untuk mendapatkan sinar matahari yang cukup.
Pasalnya, rumah orangtua Elis berada di antara pemukiman yang padat akan penduduk, serta harus melalui gang-gang kecil.
"Dijemurnya di depan sana di jalan gede, jalan dulu dari sini, supaya dapet matahari yang full. Kalau di sini mah pengap, lembab soalnya kecil rumahnya, sinar mataharinya juga sedikit," tutur dia.
Saat malam hari, Kemala akan diterangi oleh lampu kuning biasa. Tujuannya, kata dia, agar Kemala tetap merasa hangat dan terkena sinar.
"Kalau malam yan dibuatin lampu kaya gini (sambil menunjukan lampunya) sama kakeknya," kata Elis.
Alih-alih agar Kemala sembuh, Elis mengeluh segala upaya telah dilakukan.
Kemala mesti mengidap penyakit kuning selama 1,5 bulan di luar batas normal yang biasanya hanya 2 sampai 3 minggu.
Khawatir, lantaran tak kunjung sembuh, akhirnya Elis membawa Kemala ke puskesmas.
Pihak puskesmas, saat itu, kembali merekomendasikan Kemala untuk dibawa ke Rumah Sakit Rajawali, tempat Kemala lahir.
Elis mengungkapkan, saat itu, kondisi Kemala masih terlihat lemas atau lesu, setiap menangis Kemala kerap mengeluarkan nada yang cukup tinggi.
Baca juga: Perjuangan Nakes di Labuan Bajo Perangi Tengkes, Dilatih di Stunting Center dan Terjun Melawan Mitos
Benar saja, dokter yang menangani Kemala, kata dia, mengatakan Kemala terlalu lama menderita penyakit kuning.
Akibatnya, kandungan bilirubin (senyawa pigmen berwana kuning) terlalu banyak masuk ke dalam otak sehingga mengakibatkan ensefalopati bilirubin akut.
"Singkatnya kata dokter komplikasi penyakit kuning pada bayi, ya ada efek dan dampaknya," kata dia.
Sambil membacakan hasil pemeriksaan dokter, kepada Kompas.com Elis menyebut komplikasi penyakit kuning yang diderita Kemala menyebabkan kernikterus (sindrom yang terjadi jika ensefalopati bilirubin akut menyebabkan kerusakan permanen pada otak).
"Katanya, ke depan kalau enggak ditangani secara baik, paling parah anak saya bisa mengalami gangguan pendengaran, pertumbuhan gigi yang tidak normal," ungkapnya.
Beruntung, kata dia, dokter yang menangani Kemala begitu perhatian. Elis mengaku sempat ditanyai mengapa Kemala bisa mengalami hal tersebut.
Bahkan, sang dokter sempat bertanya ihwal pemberian Air Susu Ibu (ASI) kepada Kemala. Namun, Elis mengaku pemberian ASI untuk Kemala rutin di lakukan.
Meski, ia harus mencari nafkah, Elis kerap memompa ASI-nya untuk Kemala dan disimpan yang disimpan di dalam kulkas.
Tak cukup dengan penjelasan itu, dokter yang menangani Kemala, langsung menguji kualitas ASI dari Elis.
Hasilnya, Elis seperti tertampar ketiga kali, setelah ditinggal sang suami, Kemala yang divonis penyakit berat, kini ia harus menerima hasil dokter yang menyebutkan bahwa kualitas ASI yang diberikan untuk Kemala kurang baik kualitasnya.
"Saya kaget ternyata saya sendiri juga penyebabnya, terus lingkungan dan yang lainnya juga mendukung semua, mau gimana lagi harus dijalani," kata Elis.
Elis menyadari, jika kualitas ASI yang dibekukan tidak selamanya baik. Ia sadar rutinitasnya bekerja mencari penghasilan membuat ia tidak memperhatikan kualitas ASI.
Tak sampai di situ, apa yang dikonsumsinya selama ini, lanjut dia, jauh dari kata sehat atau bergizi.
Tekanan ekonomi, kata dia, menjadi faktor utama, apa yang dialaminya mesti berimbas pada kehidupan sang buah hati.
"Kemala jadi kena imbasnya. Gimana ya kulkas saya zaman mana ini, enggak punya duit buat beli baru. Gaji saya enggak seberapa, terus sanggupnya beli makanan yang sesuai, bergizi atau tidak saya enggak tahu," tambahnya.