"Kaligrafinya dikerjakan oleh santri lokal, mulai dari kaligrafi Al-Fatihah, salawat, sampai sejarah atau sirah nabawiyah," tutur Dedi.
Dedi tak hanya menyematkan ornamen-ornamen kaligrafi, ia juga membuat replika hajar aswad di sudut bangunan. Hajar aswad itu dibuat semirip mungkin dengan bentuk aslinya.
"Masyarakat setidaknya jadi tahu bagaimana bentuk Ka'bah dan bagaimana hajar aswad. Desain masjid ini mengandung pesan, dan saya ingin berdakwah semampu saya," kata Dedi.
Memang ukurannya tidak besar, tapi masjid ini menjadi sentral tempat ibadah warga Kampung Cikoneng. Setidaknya masjid ini bisa menampung 200 jamaah. Jumlah itu cukup untuk menampung jemaah salat tarawih selama Ramadhan.
"Rencana ke depan ingin diluaskan lagi. Tapi untuk sementara, segini cukup buat menampung jemaah," tuturnya.
Dedi tak mau muluk-muluk seperti Masjid Al-Jabar yang dibangun dengan anggaran fantastis, cukup dengan sederhana tapi memiliki pesan dakwah.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang