"Memang beda-beda, kadang ada yang sehari dapet Rp 250 ribu, kadang dapet Rp 500 ribu, tergantung, tapi angka segitu kecil dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, ini enggak nutup," jelas dia.
Pantauan di lapangan, toko milik Ria bisa dikatakan memiliki lokasi yang strategis. Toko miliknya berada di koridor kedua dari pintu masuk pasar.
Berbagai jenis pakaian anak berjejer rapi. Pun dengan tas anak dan dewasa yang dijualnya, sejak pagi hingga siang hari masih tertata seperti sediakala, seolah tak tersentuh pembeli.
Sepinya kios, terlihat juga dari jumlah plastik dan keranjang yang kerap digunakan untuk membungkus barang terjual. Tak terlihat satu pun yang diambilnya untuk membungkus barang.
"Kondisinya kaya gini, ini semua itu barang lama, belum ngambil barang yang baru karena sepi, siang tadi saya dapet penglaris Rp 75 ribu dan sudah dibayarin untuk logistik jaga, kalau enggak ya ngirit aja," beber dia.
Atin Ningsih (37) pedagang sepatu dan seragam sekolah membenarkan jika keberadaan marketplace merusak pedagang konvensional.
Berdagang online, sambung Atin, memang mudah dan tidak memerlukan lapak atau tempat. Namun, ada yang hilang di marketplace, yakni kepercayaan pembeli.
"Kalau saya melihat gitu, orang yang datang ke sini ke toko, kayanya orang yang belum bisa beli online sama yang masih percaya dengan melihat barangnya, kalau di online kan itu cuma lihat foto saja," kata Atin.
Sayangnya, harga di marketplace merusak harga barang yang ada di toko konvensional.
"Saya lihat di TikTok atau yang lainnya sampai jauh sekali perbandingan harganya, ini ngeri dan merusak," tutur dia.
Atin mengaku kehilangan banyak keuntungan dan sulit bersaing dengan pedagang online.
"Saya akui kita semua di sini kalah, omzet juga udah turun banyak, apalagi nanti ke depannya," kata dia.
Atin membeberkan, jika beberapa pedagang pasar pakaian, sepatu, tas, seragam sekolah, kerudung, dan yang lainnya berada di titik nadir, termasuk dirinya.
Tak sedikit pedagang yang memilih menutup tokonya dan berdagang yang lain.
"Banyak tuh yang asetnya dijual dan mereka dagang sayuran di belakang, ini kan imbas juga, kaya semacam nunggu giliran aja," katanya.