Hal ini sesuai riset global lainnya seperti Andrew W Lo dan Jasmina Hasanhodzic berjudul The Evolution of Technical Analysis: Financial Prediction from Babylonian Tablets to Bloomberg Terminals (2010), bahwa keefektifan analisis teknis dan fundamental dibantah efficient-market hypothesis, yakni harga pasar saham pada dasarnya tidak dapat diprediksi.
Karenanya, sambung riset Paulos, JA pada A Mathematician Plays the Stock Market (2003), penerapan AI pada mesin trading masih dianggap akademisi sebagai pseudoscience.
Dimitri menjelaskan sinyalemen AI sebagai ilmu palsu juga terjadi dalam proses rekrutmen karyawan.
Dinamakan sebagai "Mesin Kepribadian", sistem AI ini disebut laman Science Daily dan Tech Crunch, menggunakan gambar wajah orang dalam mencari lima besar ciri kepribadian yang lazim dipakai dalam human resources. Yakni ekstrovert, ramah, terbuka, waspada, dan neurotisisme/prasangka negatif.
"Ternyata, hasil yang ada tidak akurat karena sebagaimana dilansir laman teknologi sebuah studi menemukan bahwa prediksi perangkat lunak dipengaruhi perubahan ekspresi wajah, pencahayaan, latar belakang, dan pakaian orang. Mengapa AI bisa begitu? Studi menjelaskan, hal ini disebabkan fakta bahwa pembelajaran mesin yang digunakan untuk alat AI menggunakan data ketinggalan zaman," katanya.
Dimitri mengatakan, solusi pertama secara metode ilmiah, mengikuti Karl Raymund Popper (filsuf sains kondang abad 20) bahwa kita harus memastikan AI benar-benar diuji melalui pengujian yang ketat.
Mulai dari pengujian empirikal dan pengujian pragmatik dengan skenario uji yang lengkap dan mewakili kondisi nyata.
Kedua, perusahaan dan institusi yang menerapkan AI direkomendasikan segera menerapkan AI governance yang setidaknya mengimplementasikan prinsip-prinsip seperti accountability, explainability, safety dan human-centered.
AI governance ini sebaiknya diangkat setidaknya setara dengan tata kelola teknologi informasi (IT Governance) maupun tata kelola informasi/data (Information/Data Governance).
"Kemudian pemerintah perlu mulai mengantisipasi dan memikirkan bagaimana agar booming penerapan AI di tanah air terkendali, tertata dengan baik, dan tidak menghasilkan banyak pseudo-science yang malah akan menjadi boomerang menimbulkan banyak kerugian di masyarakat. Tanpa langkah-langkah yang jelas dari pemerintah, komunitas ilmiah, industri yang menerapkan AI, maka AI benar-benar akan jadi pseudo sains," ucap dia.
Sementara itu, Dekan STEI ITB, Dr Tutun Juhana mengatakan, acara ini digelar untuk memberi pencerahan aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari data science dan AI di masyarakat yang terus jadi bahasan publik.
"Bahasan-bahasan filosofis selalu dibutuhkan dunia akademik, bahkan untuk menjawab pertanyaan yang mendasar tentang kehidupan maupun penerapan teknologi terkini," tutur dia.
Wakil Dekan STEI ITB Dr Widyawardana Adiprawita menjelaskan, tanda dosen malas adalah saat membimbing mahasiswa, sedikit-sedikit bertanya ke AI.
"Gusti Allah memberi kita akal budi, kemampuan berfilsafat, tapi kalau males, let the data explain itself, maka jadi pas banget kita diingatkan diskusi ini agar tidak malas," katanya.
Karena itu, sesi diskusi ini sangat bermakna yakni mengingatkan semua bahwa tempatkan AI pada posisinya yakni sebagai tools atau perpanjangan tangan saja.
"Jangan biarkan AI mengambil keputusan untuk kita, karena kalau sampai ambil keputusan, AI sendiri tidak seutuhnya mengerti namun kita kasih AI kesempatan ambil keputusan," ungkapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.