"Uang segitu banget. Tapi anaknya pengen sekolah negeri. Masuknya cuma Rp 7 juta, lebih murah dibanding di SMA negeri jalur belakang," kata Risbet.
"Harus diberantas, tindak tegas oknumnya, kasihan ada anak yang berprestasi, memenuhi syarat, tapi gagal karena kursinya diperjual belikan," ucapnya.
Sementara itu, Ketua Lembaga Bantuan Pemantau Pendidikan (LBP2), Asep B Kurnia membenarkan, praktik jual beli kursi pada tahun ajaran baru sudah berlangsung bertahun-tahun.
Menurutnya alasan orangtua memilih praktik curang tersebut, karena dirasa sekolah sekitar tempat tinggalnya dinilai kurang bonafit secara sarana dan prasarana.
"Orangtua yang mampu meskipun domisilinya dekat sekolah, tapi tidak memadai atau bisa disebut tidak layak untuk anaknya sekolah karena sarana dan prasarananya kurang," kata Asep saat dihubungi.
Asep pun menilai upaya Bey Machmudin untuk memberantas praktik jual beli kursi sekolah itu patut diapresiasi. Namun hal tersebut akan memakan waktu cukup lama, karena praktik itu sudah berlangsung lama.
"Kalau menurut saya bagus hal itu terjadi tapi bagaimanapun juga hal itu, akan tetap berlangsung akan tetap terjadi. Jadi hemat saya sebetulnya Pak Pj fokus pemerataan sarana prasarana fasilitas yang ada di sekolah," terang Asep.
Dia menambahkan, jalur yang patut diwaspadai dan sering dimanfaatkan oleh oknum sekolah dan orangtua murid pada PPDB yakni dengan memanfaatkan Kartu Keluarga.
Meskipun saat ini PPDB diperketat dengan berbagai aturan baru, namun cukup rawan disalahgunakan.
"Bagian meminimalisir kecurangan yang terjadi dari jalur prestasi akademik zonasi lebih diwaspadai adalah KK yang nempel aturan diperketat dengan berbagai aturan baru jalur prestasi dan perpindahan orangtua," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.