KOMPAS.com - Sisindiran Sunda atau sisindiran merupakan tradisi lisan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat berbahasa Sunda.
Sisindiran Sunda merupakan bentuk puisi semacam pantun dalam sastra Melayu. Sisindiran kerap juga disebut sebagai pantun sunda.
Keberadaan Sisindiran merupakan puisi rakyat yang digemari oleh masyarakat.
Tradisi lisan adalah pesan verbal yang disampaikan secara turun temurun. Wujudnya dapat berupa dongeng, pidato, ucapan, nyanyian, pantun, cerita rakyat, nasihat, maupun balada.
Sisindiran berasal dari kata "sindir" yang berarti tidak berkata langsung maupun terus terang. Tujuannya untuk menghormati yang diajak bicara supaya tiak tersinggung.
Sisindiran terdiri dari sampiran dan isi dengan puisi yang terbatas pada rima dan irama, bukan pada imaginasi atau diksi seperti yang terdapat dalam puisi moderen atau sajak.
Keberadaan sisindiran yang merupakan puisi sastra tradisional telah ada sejak lama bahkan jauh sebelum Islam datang.
Baca juga: Tradisi Lisan: Pengertian, Ciri-ciri, dan Contohnya
Umumnya, sisindiran terdiri atas empat larik, namun dapat kurang maupun lebih. Jumlah larik selalu genap karena akan terbagi dua yang sama jumlah lariknya.
Larik pada bagian pertama disebut cangkang (kulit atau sampiran) dan larik pada bagian kedua disebut eusi (isi).
Dilihat dari jenisnya, terdapat tiga jenis sisindiran, yaitu wawangsalan, rarakitan, dan paparikan.
Dari tiga jenis tersebut jika dilihat dari sifatnya memiliki tujuan, yaitu kasih sayang, piwuruk 'pepatah', dan sesebred humor.
Sisindiran biasanya dituturkan dalam suasana berbincang-bincang, suasana santai, formal (upacara adat perkawinan atau lamaran), maupun saat bercanda.
Sisindiran dapat mengungkapkan perasaan, situasi masyarakat desa, kondisi lingkungan, dan sebagainya.
Berikut ini adalah contoh sisindiran rarakitan atau banyol bahasa Sunda yang di rangkum dari buku Kumpulan Contoh Sisindiran Sunda, dilansir dari Sonora.id.
1. Di masjid keur nakol kohkol
Dicarek ku Uwa Haji
Dasar si Bu Atah adol
Dahar lima ngaku hiji