BANDUNG, KOMPAS.com - Hanya beberapa kilometer dari Stadion Si Jalak Harupat, terdapat Kampung Randukurung. Persisnya di Desa Kutawaringin, Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Bukan pemandangan yang aneh, jika di halaman rumah warga di kampung itu terdapat hamparan tusuk sate yang dijemur.
Begitu juga dengan para yang terlihat duduk di teras sambil mengolah bambu menjadi tusuk sate.
Ya, keberadaan kampung ini menjadi unik, karena warganya telah lama dikenal sebagai pembuatan tusuk sate. Kebanyakan dari mereka adalah kaum perempuan.
Baca juga: Cerita Pembuat Tusuk Sate di Bandung, Pesanan Melimpah Jelang Idul Adha
"Rata-rata di sini mah, yang lain juga pasti ada kemampuan yang diwariskan gitu," kata salah satu perajin, Karmini (63) yang ditemui di sela-sela pembuatan tusuk sate, Kamis (13/6/2024).
Menurut Karmini membuat ancos (sebutan warga sekitar untuk tusuk sate) sudah dilakukan warga Kampung Randukurung secara turun temurun.
Karmini pun mengaku keahlian membuat ancos sudah ada sejak dulu. Bahkan, kata dia, ibu dan ayahnya dulu juga adalah perajin tusuk sate.
Seingat dia, di tahun 1950an warga di kampung itu sudah membuat tusuk sate. Salah satu tokoh yang paling dikenal dan mengawali pembuatan ancos di kawasan ini, bernama Otob.
Saat ini, tidak hanya Kampung Randukurung saja yang membuat ancos. Setidaknya, ada enam kampung di dua desa, yakni Desa Kutawaringin dan Desa Cibodas yang juga membuat tusuk sate.
"Ada Kampung Cipeundeuy, Kampung Randukurung, Kampung Ciherang, Kampung Sinday, Kampung Cigondok, yang akhirnya sama bikin tusuk sate," ujar Karmini.
Tak hanya perempuan lanjut usia saja yang terjun membuat tusuk sate, anak muda juga ada yang ikut belajar membuat tusuk sate.
Bagi Karmini, pekerjaan membuat tusuk sate mulai ditekuni sepeninggal almaruh suaminya.
"Dulu mah suami yang gini, saya paling batu meruncingkan atau mengikat saja, sekarang mah saya yang turun semua," kata dia.
Bagi dia, membuat ancos merupakan kegiatan yang tidak terlalu berat.
Dibandingkan hanya berdiam diri saja, ia dan beberapa Ibu rumah tangga di sana lebih memilih membuat ancos.
Baca juga: Jelang Idul Adha, Perajin Tusuk Sate Kewalahan Penuhi Permintaan Pasar
"Ya namanya juga perempuan, kadang disuruh di dapur aja sama ngurus anak, tapi dari pada sisanya dipakai diem mending gini," ujar Karmini.
Sambil berbincang-bincang, keterampilan membuat ancos diperlihatkan oleh Karmini.
Sejak pagi hingga menjelang siang, Karmini membelah bambu berbagai ukuran, serta meruncingkannya. Aktivitas itu dilakukan dengan santai sambil berbincang-bincang dengan keluarga dan warga lainnya.
Ketelatenan Karmini tidak bisa dianggap biasa, wanita lansia itu memainkan golok hingga pisau serut dan membuat bambu yang awalnya berukuran lima meter diubah menjadi seukuran lidi.
Usai menyelesaikan proses pemotongan bambu, Karmini melanjutkan proses meruncingkan.
Proses ini hanya dilakukan apabila ada pesanan untuk kebutuhan sate. Namun baru-baru ini, ada juga yang memesan tusuk tanpa diruncingkan. Biasanya untuk kebutuhan pedagang cilor atau cimol.
Setelah mendapatkan ukuran yang sesuai, bambu-bambu tersebut dikumpulkan. Selesai mengiris, dia lalu meraut bagian ujungnya sampai runcing, lantas membawanya ke halaman rumah untuk dijemur.
"Kalau tidak dijemur, nanti bisa berjamur," ucap Karmini.
Hal serupa juga dilakukan Mak Uu. Perempuan 70 tahun itu memilih mengerjakan pembuatan ancos di halaman rumahnya setiap hari.
Meski, kebanyakan wanita di usianya lebih banyak menghabiskan waktu untuk berdiam, namun Mak Uu memilih jalan yang berbeda.
"Kalau dibilang jenuh ya pasti, soalnya leukeun (sulit) tapi da gimana menghasilkan, saya mah pilih gini saja," kata Mak Uu.
Keuntungan dari membuat ancos, kata Mak Uu, terhitung lumayan.
Dari satu batang bambu seharga Rp 50.000, dia bisa membuat 200- 300 ikat tusuk sate, dan menjualnya dengan harga Rp 1.500-Rp 2.500 per satu ikat.
Baca juga: 5 Pasangan di Purworejo Menikah dengan Mahar Satu Tusuk Sate
Satu batang bambu, lanjut Mak Uu, bisa dihabiskan 3-5 hari. "Kalau dihitung mah bisa kurang dari Rp 100.000 per harinya dapet uang atau kurang dari segitu, tapi ya dari pada diem ini mah," ujar dia.
Menjelang sore, sebagian warga sudah mulai menjahit tusuk sate yang dijemurnya.
Nantinya tusuk sate itu akan diserahkan ke bandar-bandar terdekat, untuk kemudian dipasarkan ke beberapa wilayah seperti dari Kabupaten Bandung, Kota Bandung, sampai Kabupaten Subang dan daerah lainnya.
Permintaan akan tusuk sate pun terus mengalami peningkatan, mengingat bukan hanya digunakan oleh para penjual sate, tetapi banyak olahan makanan lainnya yang menggunakan tusuk sate.
"Kalau Idul Adha mah pasti atuh pesanan semakin banyak, ya tapi semoga saja harganya dari kita naek lagi," kata Mak Uu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.