SUMEDANG, KOMPAS.com - Siapa tak mengenal Deden Indrawan, seniman sekaligus pendiri kelompok teater Absurd di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat?
Seniman Sumedang kelahiran Sumedang, 3 Febuari 1974 ini memang sudah malang melintas di dunia seni dan budaya di Kabupaten Sumedang.
Kepada Kompas.com, pria yang akrab disapa Abah Deden Absurd ini bercerita tentang pahit dan manisnya menjadi seorang seniman peran.
Suami dari Virtinia Garcia (41), yang juga berprofesi sebagai seniman tari dan penulis puisi ini mengatakan, menggeluti dunia seni sudah sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), sekitar 1990-an.
"Kalau basic, dari SMA itu pelukis sampai sekarang saya masih melukis. Tapi karena suka dengan seni gerak tubuh pada tahun 1992 itu, saya membentuk kelompok seni teater Absurd," ujar Abah Deden di Studio Tato di Jalan Kutamaya, Sumedang Utara, Sumedang, Senin (25/6/2024) malam.
Baca juga: Mengenal Andi Pradinata, Seniman Disabilitas yang Multitalenta
Abah Deden menuturkan, setelah terbentuk dan manggung beberapa kali di Sumedang, pada tahun yang sama, Teater Absurd diundang mentas di Pasar Seni Institut Teknologi Bandung (ITB).
"Penampilan di Pasar Seni ITB itu pula lah yang membuat Teater Absurd mulai dikenal luas. Dan tampil di panggung itu, kala itu, menjadi pengalaman termanis yang tak terlupakan sampai saat ini," tutur ayah dari Zaid Tsabit, dan Zaid Afraula ini.
Abah Deden menuturkan, kiprah Teater Absurd di panggung seni sendiri terus berlanjut dengan tampil di sejumlah momen. Baik di Sumedang, maupun di luar daerah seperti di Kota Bandung.
Akan tetapi, seperti halnya seniman lainnya, berbagai tantangan harus dihadapi. Terutama, jika dilihat dari segi ekonomi, menjadi seniman sangat sulit untuk diandalkan.
"Saya pribadi menjadikannya sebagai profesi utama, meski sulit tapi selalu ada jalannya. Alhamdulillah, dari melukis dan seni teater ini saya bisa menghidupi istri dan dua anak," tutur Abah Deden.
Ditanya peran pemerintah terhadap seniman di Sumedang, Abah Deden mengaku hingga saat ini sangat minim.
"Sampai saat ini, Sumedang tidak memiliki gedung kesenian yang bisa menjadi tempat bagi kami selaku seniman untuk bereksplorasi. Kalau pun ada, seperti Gedung Kesenian di Pacuan Kuda, Sumedang Utara, itu sangat tidak layak dan tidak bisa disebut sebagai tempat eksplorasi."
"Sehingga, harapan kami ke depan, pemerintah itu bisa memasilitasi tempat bagi kami untuk bereksplorasi. Tempat yang layaknya disebut Gedung Kesenian seperti halnya di Bandung, di Jakarta," tutur Abah Deden.
Baca juga: Bernyanyi, Main Film, hingga Teater, Quinn Salman: Aku Suka Pelajari Hal Baru
Selain masih belum memiliki Gedung Kesenian, apresiasi pemerintah terhadap seniman di Sumedang juga sejauh ini masih sangat minim.
"Kami para seniman di Sumedang itu justru seakan terpinggirkan. Seperti jika ada event kesenian, yang dilibatkan justru bukan kalangan seniman."
"Malah yang terjadi, pemerintah itu tiap ada event justru menciptakan senimannya sendiri (Seniman abal-abal). Jadi, seperti bikin toko di dalam toko, karena oknum pejabat yang biasanya ingin mengeruk untung dari event tersebut. Itu yang biasanya terjadi di Sumedang sampai saat ini, jadinya bisa dibilang tidak tepat sasaran," tutur Abah Deden.