Kedatangan dara cantik itu pun disambut semringah sang pribumi yang petang itu tengah duduk bersantai di beranda kediaman ditemani saudaranya bernama Mas Purwa.
Apun Gencay pun disuruh mendekat. Namun tetiba, pemuda yang bersamanya menyeruak ke arah Aria Wiratanu III sambil menghunus sebilah condre yang diselipkan dibalik bajunya.
Tiga tusukan tepat mengenai perut sang bupati, sementara Mas Purwa terkesiap dengan gerakan cepat pemuda tersebut sehingga gagal mencegahnya.
Kanjeng Raden Aria Wiratanu Datar III meninggal beberapa jam setelahnya, sementara nasib pemuda tersebut tak lebih baik, dia mati mengenaskan setelah tertangkap di Alun-Alun Cianjur saat berupaya kabur.
Baca juga: Satpol PP Sidoarjo Pidanakan Pembuang Sampah di Pendopo saat Demo
Kepalanya dipenggal dan dimutilasi. Potongan-potongan tubuhnya lantas disebar ke setiap penjuru alun-alun.
"Pemuda itu cemburu dan tersinggung karena kekasihnya telah direbut," ucap Hendi.
Hendi tak begitu yakin dengan kisah tersebut, Kendati begitu, dikemukakannya, nyaris semua tulisan sejarawan yang mengangkat kisah tragis itu selalu berujung pada manuskrip berjudul “Cerita-Cerita Pribumi dari Bupati Cianjur (1858)” karya R.A.A. Kusumahningrat tersebut.
“C.M.F. Stokhausen kemudian menerjemahkan manuskrip itu ke dalam bahasa Belanda dengan judul “Inlandsche Verhalen van den Regent van Tjiandjoer (1857),” ujar dia.
R.A.A. Kusumahningrat sendiri merupakan Bupati Cianjur ke-9 yang memerintah sejak 1834 hingga 1862.
"Orang Cianjur mengenalnya sebagai Dalem Pancaniti,” ucap Hendi.
Peristiwa terbunuhnya R.A Wiratanu Datar III yang dikaitkan dengan pemberontakan petani kopi tak terlepas dari bisnis kopi sang dalem dengan Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC.
Namun, kemitraannya dengan pihak kongsi dagang terbesar asal Belanda itu telah merugikan para petani kopi yang notabene rakyatnya sendiri.
Mereka semakin memusuhi Raden Astramanggala itu karena kebijakan-kebijakannya yang tidak berpihak, bahkan lebih menguntungkan pihak kolonial.
Diceritakan Hendi, merujuk tulisan Jan Breman berjudul “Keuntungan Kolonial dalam Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870”, Aria Wiratanu III dinilai tidak jujur oleh rakyatnya dalam menjalankan bisnis kopi.
Baca juga: Melongok Cianjur Tempo Dulu lewat Jendela Bumi Ageung Cikidang
Dia juga dinilai lebih memperkaya diri ketimbang menyejahterakan rakyatnya, termasuk mengambil laba yang terlalu besar dari petani.
“Harga kopi perpikul yang disepakati 17.50 ringgit. Namun, nyatanya hanya dibayarkan 12.50 ringgit perpikul. Uang 5 ringgit yang seharusnya menjadi hak para petani kopi itu malah masuk ke kantong pribadinya,"
"Karena itulah, rakyat lantas tidak puas hingga melakukan perlawanan,” Hendi menuturkan.