Editor
KOMPAS.com - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyampaikan pidato dalam bahasa Sunda saat menghadiri peringatan Hari Jadi ke-543 Bogor dalam Rapat Paripurna di gedung DPRD Kota Bogor, Selasa (3/5/2025).
Dedi menyampaikan pidato semuanya dengan berbahasa Sunda buhun atau kuno. Pidato mantan bupati Purwakarta itu pun disambut riuh tepuk tangan peserta dan tamu undangan peringatan Hari Jadi Bogor.
Dalam pidatonya, Dedi menegaskan bahwa peringatan Hari Jadi ke-543 Bogor bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan momentum refleksi atas akar dan nilai-nilai peradaban Sunda.
Baca juga: Hari Jadi Bogor, Dedi Mulyadi: Cintailah Bogor Sebagaimana Kita Mencintai Ibu Kita
Hal tersebut ia sampaikan saat menghadiri acara peringatan yang digelar di pusat kota Bogor, Selasa (3/6/2025).
Dalam pidatonya, Dedi mengangkat kembali nilai-nilai kearifan lokal dan filosofi "adeg-adeg peradaban Kisunda", yang telah menjadi pondasi kehidupan masyarakat Tatar Sunda sejak masa Pakuan Pajajaran.
"540 taun katukang, di lembur ieu tos ngadeg hiji adeg-adeg peradaban. Lampah anu pinuh ku berkah, nebarkeun welas jeung asih, ka sadaya mazhab kahirupan. Ieu lemah lain saukur milik warga Bogor, tapi puser daya peradaban Sunda (540 tahun silam, di daerah ini sudah berdiri sebuah bangunan peradaban. Langkah yang penuh berkah, menyebarkan kasih dan sayang, ke semua mazhab kehidupan. Ini tanah bukan hanya milik warga Bogor, tetapi pusat kekuatan peradaban Sunda)," ungkap Dedi yang dikutip dari siaran langsung Kompas TV, Rabu.
Ia menyoroti pentingnya membangun daerah bukan semata-mata mengandalkan anggaran pemerintah (APBD), melainkan melalui visi dan nilai yang hidup di tengah masyarakat.
"Sri Baduga Maharaja henteu ngadegkeun Pakuan ku APBD. Anjeunna ngadegkeun ku kayakinan. Jadi pemimpin ulah kakurung dina buku anggaran. Pangwangunan kudu diadegkeun ku nilai hirup (Sri Baduga Maharaja tidak mendirikan Pakuan [Istana] dari APBD. Dia mendirikannya dengan keyakinan. Menjadi pemimpin jangan terbatas oleh buku anggaran. Pembangunan harus dijalankan oleh nilai hidup)," tegasnya.
Dedi juga mengkritisi kondisi pendidikan dan sistem pembangunan yang dianggap mulai melenceng dari nilai dasar kehidupan Sunda.
Ia menyebutkan bahwa sistem nilai yang bersumber dari "papat kalimah pancer" dan filosofi "cager, bageur, bener, pinter, singer" harus dihidupkan kembali sebagai dasar pembangunan.
Lebih jauh, ia menyinggung kerusakan lingkungan, hilangnya identitas budaya, hingga ketimpangan sosial akibat kerakusan dan kehilangan arah.
"Ciherang tinggal kiruhna, resi leungit ajina, pandita ilang komarana. Pendidikan berbasis duit, hubungan guru jeung murid teh geus robah jadi hubungan pengajar jeung alat. Hartina, urang geus leungit rasa jeung cinta (Air jernih tersisa keruhnya, resi [pemegang kuasa adat] kehilangan kekuatan, tokoh agama kehilangan cahaya. Pendidikan berbasis uang, hubungan guru dan murid sudah berubah menjadi hubungan pengajar dengan alat. Artinya, kita sudah kehilangan rasa dan cinta)," ujar Dedi dengan nada prihatin.
Ia pun mengajak seluruh elemen masyarakat, mulai dari pejabat, anggota dewan, tokoh masyarakat, hingga generasi muda, untuk kembali menengok jati diri Tatar Sunda.
"Orang Sunda kudu apal kana waktu. Nu miindung ka waktu, mibapak ka jaman. Apal ka pancaniti, apal kana naon nu kudu dilampahkeun (Orang Sunda harus sadar waktu. Mengikuti perkembangan zaman tetapi tetap menjaga nilai-nilai adat istiadat. Paham lima tahapan dan mengerti tentang apa yang harus dilakukan)," pesannya.
Baca juga: Bupati Bogor Rombak 13 Pejabat Eselon II, Ada Apa?
Pancaniti merupakan konsep pendidikan di Jawa Barat. Ada lima tahapan Pancaniti, antara lain: