Editor
BANDUNG, KOMPAS.com – Berdiri di sebelah timur kompleks Gedung Sate, bangunan yang berdiri kokoh nan megah ini menyimpan sejarah panjang dan kisah heroik.
Bangunan ini sudah ada sejak tahun 1920. Bergaya arsitektur neoklasik dengan sentuhan art deco, bangunan tersebut sejak zaman Belanda digunakan sebagai kantor Post Telephone dan Telegram.
Corporate Secretary Pos Indonesia Tata Sugiarta menjelaskan, catatan peristiwa bersejarah itu dapat ditengok jelas di Tugu Peringatan Pahlawan (PTT) yang berdiri tepat di depan kantor.
“Tak hanya sebagai tetenger atau penanda. Setiap orang akan dibuat ingat dengan tanggal 27 September 1945. Ada apa? Yakni Hari Bhakti Postel yang tahun ini menginjak 80 tahun,” tutur dia dalam rilisnya, Kamis (4/9/2025).
Baca juga: Sejarah Gedung Sate: Penamaan, Isi, Arsitek, dan Pemindahan Ibu Kota
Bangunan tersebut menjadi saksi bisu bagaimana sekelompok pemuda berani yang tergabung dalam Angkatan Muda Pos, Telegrap, dan Telepon (AMPTT) berjuang mempertahankan dan merebut gedung Pos Indonesia.
Saat itu, gedung tersebut menjadi simbol perkembangan komunikasi antardaerah di Indonesia kala itu.
“Sejarah itu dimulai dari sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Ketika semangat perjuangan untuk mengambil alih aset-aset vital dari pemerintahan Jepang menjalar ke berbagai sektor, termasuk Jawatan PTT,” ungkap dia.
Pada 3 September 1945, sekelompok pemuda PTT yang dimotori oleh Soetoko, Slamet Soemari, dan beberapa nama lainnya mengadakan pertemuan.
Mereka sadar Jawatan PTT memiliki peran krusial dalam menyebarkan informasi dan menghubungkan seluruh wilayah Indonesia.
Di sisi lain, Komandan Pasukan Jepang menginstruksikan bahwa Kantor Pusat PTT harus diserahkan kepada Sekutu, bukan Indonesia.
Baca juga: Gang Apandi, Jejak Perjuangan di Balik Gemerlap Jalan Braga Bandung
Kondisi ini memicu kekhawatiran para pemuda PTT. Tak tunduk menyerah begitu saja, mereka bertekad mengambil alih kantor pusat. Paling lambat akhir September 1945.
Merespons instruksi Jepang, Soetoko, Ismojo, dan Slamet Soemari berkumpul pada 23 September 1945. Mereka menyusun strategi demi merebut kekuasaan PTT.
Keputusan penting diambil. Mereka meminta Mas Soeharto dan R Dijar berunding dengan pihak Jepang agar penyerahan dilakukan damai.
Jika perundingan gagal, mereka tidak ragu menempuh jalan kekerasan dengan bantuan dari rakyat yang siap berjuang bersama.
Keesokan hari, dilakukan pertemuan dengan Tuan Osada, pimpinan PTT Jepang. Tuntutannya tegas yakni serahkan pimpinan Jawatan PTT secara terhormat kepada bangsa Indonesia pada hari itu juga.