Editor
Sayang, perundingan menemui jalan buntu. Pihak Jepang hanya mengizinkan pengibaran bendera Merah Putih di halaman belakang gedung.
Meski kecewa, para pemuda AMPTT melaksanakannya. Mengibarkan Sang Saka Merah Putih dengan khidmat di tiang khusus tepat di atas lokasi tugu.
Kegagalan negosiasi ini makin menguatkan tekad para pejuang dalam merebut Jawatan PTT dengan cara apa pun.
Untuk menyatukan kekuatan, pada 26 September 1945, AMPTT membentuk kepengurusan.
Soetoko ditunjuk sebagai ketua. Menyadari pentingnya koordinasi yang efektif dalam perebutan kekuasaan, Soetoko dibantu tiga wakil, yaitu Nawawi Alif, Hasan Zein, dan Abdoel Djabar.
Pada hari yang sama, anggota AMPTT disebar untuk mencari dan mengumpulkan segala peralatan serta senjata. Dukungan dari berbagai pihak mengalir deras.
Penduduk tua dan muda serta organisasi perjuangan lainnya yang berada di dekat Kantor Pusat PTT, menyatakan kesediaan untuk membantu. Semangat kebersamaan ini menjadi fondasi yang kuat bagi perlawanan yang segera dilancarkan.
Hari yang dinanti itu tiba. Pada 27 September 1945, dilakukan perundingan dengan Jepang. Hasilnya, Jepang keukeuh tidak mau menyerahkan kekuasaan begitu saja.
“Mereka memutuskan bahwa pada hari itu, kekuasaan atas Jawatan PTT harus direbut. Tidak peduli apa pun pengorbanan yang harus diberikan. Mereka segera menyiapkan persenjataan, mengerahkan rakyat, dan massa pun berkumpul di halaman selatan gedung,” jelas Tata.
Pasukan AMPTT yang dipimpin Soewarno berhasil mengepung kantor dan memasuki ruangan yang dikuasai Jepang.
Mereka membuat pihak Jepang tidak berdaya. Akhirnya, para pimpinan Jepang dengan sukarela menyerahkan pedang mereka sebagai tanda menyerah.
Setelah penguasaan berhasil, beberapa pemuda di bawah pimpinan Soewondo menurunkan bendera Jepang.
Sebagai gantinya, mereka mengibarkan bendera Merah Putih di tiang yang sama. Berkumandanglah lagu kebangsaan Indonesia Raya mengiringi momen sakral itu.
Kini, di gedung yang dirancang arsitek J. Herberg pada 27 Juli 1920 itu, terdapat museum. Saksi bisu perjalanan panjang Pos Indonesia. Didirikan pada 1931 dengan nama awal Museum PTT, keberadaannya sempat terlupakan akibat gejolak revolusi.
Museum dihidupkan kembali dan diresmikan pada 27 September 1983 atau pada peringatan Hari Bhakti Postel ke-38. Seiring dengan perubahan status perusahaan menjadi Museum Pos Indonesia.
Di situ, pengunjung dapat melihat berbagai koleksi bersejarah. Mulai dari prangko dari berbagai negara, peralatan pos zaman dulu, hingga diorama yang menggambarkan perjalanan layanan pos di Indonesia.
”Semua koleksi ini merupakan bukti nyata bagaimana Jawatan PTT -kini menjadi PT Pos Indonesia- memiliki peran vital dalam membangun konektivitas dan persatuan bangsa hingga saat ini,” katanya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang