Harga itu masih di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebesar Rp 6.500 per kilogram.
Sutatang menjelaskan, dengan harga tersebut, petani bisa menutupi modal tanam yang besar.
Ia mencontohkan, biaya produksi untuk satu hektar sawah bisa memakan modal rata-rata sekitar Rp 15 juta.
Belum lagi kendala seperti hama dan lain-lain sehingga perlu biaya lebih besar.
Sementara satu hektar sawah, kata dia, bisa menghasilkan sekitar 7 ton gabah, kemudian dikali harga Rp 7.700 saat ini sehingga petani bisa meraup omzet sekitar Rp 53 juta per hektar.
Sutatang menegaskan, keuntungan tersebut didapat catatan jika hasil panen raya petani bagus dan harga gabah sedang tinggi.
Opih Riharjo (39), petani asal Desa Mundak Jaya, Kecamatan Cikedung, turut membenarkan bahwa petani punya utang di bank.
Nominalnya pun bervariasi tergantung yang diajukan oleh masing-masing petani.
"Saya juga sama, punya utang ke bank, termasuk teman-teman petani yang lain," ujar dia.
Menurut Opih, utang yang diajukan tersebut lebih kepada kebiasaan petani yang ingin memperluas lahan garapan mereka.
Untuk modal tani, sebagiannya saja karena biasanya petani sudah mempersiapkan modal sebelum musim tanam tiba.
Selain itu, banyak pula warga yang kesulitan mencari lapangan pekerjaan sehingga memutuskan terjun menjadi petani.
Untuk modalnya, mereka pinjam ke bank guna keperluan gadai atau sewa sawah.
"Banyak di desa saya seperti itu, karena sulit cari kerja jadi pinjam ke bank buat gadai atau sewa sawah lalu dia garap. Jadi, ini trik mereka karena daripada jadi buruh yang kerja di sawah orang, lebih baik sewa dan garap sendiri," ujar dia.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang