BOGOR, KOMPAS.com - Ratusan kepala keluarga di dua desa di Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, kini hidup dalam ketidakpastian akibat sebagian lahan mereka yang terdaftar sebagai sitaan negara.
Dua desa tersebut yakni Sukamulya dan Sukaharja. Kini warga di sana resah, menghadapi kemungkinan kehilangan tanah dan sawah.
Di Desa Sukamulya, sekitar 377 hektar dari total 1.611 hektar wilayah desa tersebut masuk dalam daftar sitaan negara.
Baca juga: 4 Warga Jadi Tersangka Sengketa Lahan Desa Sukawangi Bogor, Dedi Mulyadi Janji Bantu
Salah satu kampung yang terdampak adalah Parung Santen, yang dihuni 17 kepala keluarga atau sekitar 70 jiwa.
Lebih lanjut, Komar menjelaskan, area sitaan mencakup pesawahan yang menjadi sumber penghidupan bagi warga.
Jika lahan tersebut benar-benar dirampas negara, sekitar 500 kepala keluarga dari tiga kampung di sekitar blok sawah juga akan kehilangan akses pencaharian.
"Sawah itu ada di tengah kampung, jadi dampaknya sangat luas. Warga resah dan sempat geruduk (demo) kantor desa untuk meminta kejelasan," ujarnya.
Baca juga: Dedi Mulyadi Siapkan Langkah Taktis Tangani Desa Diagunkan di Bogor: Warga Tenang Saja...
Komar menambahkan, dampak dari potensi pelelangan lahan sitaan akan sangat besar.
"Kami tidak bisa membayangkan jika sampai benar-benar terjadi pelelangan, dampaknya akan sangat besar," katanya.
Sengketa lahan ini bermula dari putusan Mahkamah Agung pada 1991-1992 yang menyatakan 377 hektar tanah di Desa Sukamulya sebagai rampasan negara, namun warga tidak pernah melihat bukti kepemilikan sah atas tanah tersebut.
Di Desa Sukaharja, lahan seluas 440 hektar juga berstatus sitaan, meskipun tidak ada pemukiman warga di wilayah tersebut.
"Kalau di Sukaharja dampaknya lebih ke 401 blok perkebunan yang saat ini disita," tutur Kepala Desa Sukaharja, Atikah.
Meskipun tidak ada pemukiman, penyitaan tetap mengganggu aktivitas ekonomi warga yang bergantung pada perkebunan.
Sejak 2021, Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Bogor sempat memblokir lahan sitaan di Sukamulya. Hal ini mengakibatkan warga tidak dapat melakukan transaksi tanah, pajak, maupun waris.
"Hampir tiga tahun warga tidak bisa apa-apa dengan tanah mereka. Itu membuat keresahan semakin jadi sampai geruduk kantor desa," kata Komar.