Editor
BANDUNG, KOMPAS.com – Pakar Hukum dari Universitas Islam Bandung (Unisba), Rusli K Iskandar, mengingatkan kepala daerah termasuk Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang gemar mengeluarkan surat edaran (SE).
Selama menjabat, Dedi Mulyadi sudah beberapa kali mengeluarkan SE seperti larangan study tour dan wisuda, penerapan jam malam, pembinaan karakter di barak, penghapusan tunggakan PBB, donasi harian Rp 1.000, pengaturan operasional kendaraan ODOL, dan lainnya.
"SE tidak bisa dibuat seenaknya, (apalagi) menabrak koridor hukum,” ujar Rusli dalam rilis yang diterima Kompas.com, Jumat (13/12/2025).
Baca juga: REI Jabar soal SE Dedi Mulyadi Moratorium Izin Perumahan: Mohon Dikaji Ulang...
Rusli mengingatkan, SE berlaku internal atau mengatur urusan khusus kepala daerah yang bersangkutan. Namun kini SE sudah dianggap sebagai aturan yang mengikat publik.
Kondisi ini sudah salah kaprah karena dibuat seperti titah seorang raja yang bebas bertindak atau freies ermessen.
"Jika ingin mengikat publik secara penuh harus setingkat Perda saja, ada konsultasi yang dilakukan sebelum dibuat seenak hati. Hukum itu ada etika dan etika itu posisinya di atas hukum," tegas Rusli.
Surat edaran, sambung Rusli bisa digugat balik dan dievaluasi ke Kemendagri. Mendagri dapat mengenakan sanksi bagi kepala daerah, jika SE yang dikeluarkan mengganggu atau meresahkan masyarakat dan iklim usaha.
"Yang merasa dirugikan dapat menggugat ke Mendagri, uji saja nanti di sana nanti akan ada evaluasi. Sudah pernah dilakukan terhadap SE Gubernur Bali terkait larangan menjual air kemasan di bawah 1 liter, Mendagri meminta untuk dievaluasi karena mengganggu sektor usaha di sana," beber dia.
Bahkan menurutnya jika ternyata SE itu dibuat melanggar perundang-undangan, kepala daerah dapat dikenai sanksi perbuatan melanggar hukum.
Pakar Kebijakan Publik Agus Pambagio menambahkan, SE sudah tidak perlu lagi diterbitkan oleh Kementerian dan lembaga hingga setingkat pemda karena banyak yang sudah berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan di atasnya. Masyarakat membutuhkan kepastian hukum.
"Jangan salah kaprah, harus sesuai dengan UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan . SE itu mengikat secara internal saja bukan untuk mengatur publik," tegasnya.
Baca juga: Dedi Mulyadi Sebut Bandung Sudah di Bawah Permukaan Laut: Tangani Banjir Tak Cukup Keruk Sungai
Kebebasan membuat SE sudah mengarah kepada kebebasan wewenang kepala daerah yang tidak terbatas, padahal ada aturan yang mengikat.
"Misal SE terkait larangan truk ODOL air mineral, tujuannya bagus namun itu bisa menjadi alat bagi pihak tak bertanggung jawab menerapkan pungli bahkan tilang ilegal. SE tidak bisa menjadi dasar untuk polisi menilang, harus berupa Perda," jelasnya.
Ia mengatakan rencana pemerintah menerapkan aturan ODOL tahun 2027 mendatang harus dibarengi dengan penegakan aturan yang jelas.
"Pengusaha itu siap taat asal tidak ada biaya-biaya tidak jelas di jalan. Pungli sudah mulai dirasakan sejak dari keluar gudang, pelabuhan dan jalanan. Ini juga harus diperhatikan oleh pemda," tuturnya.