BANDUNG BARAT, KOMPAS.com - Dari kejauhan riuh terdengar sayup bocah-bocah SD merapal doa-doa pagi. Suara itu datang dari balik ruangan sederhana dengan dinding bambu tak rapat sempurna.
SD IT Permata, sebuah sekolah yang berdiri di pelosok Kampung Pangheotan, Desa Mandalamukti, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat baru saja memulai ajaran baru.
Sekolah satu-satunya yang berada di perkampungan itu hanya memiliki empat ruang kelas tanpa kantor guru. Empat ruang itu digunakan untuk kegiatan belajar mengajar (KBM) kelas 2, 3, 4, dan 6.
"Kelas 5 belajar di bangunan setengah jadi. Sementara kelas 1 muridnya cuma 14, jadi belajarnya di dalam rumah saya, di ruang tengah," terang Ketua Yayasan Fabilillah, Abdul Somad (45) saat ditemui, Jumat (21/7/2023).
Baca juga: Kisah Anak Driver Ojol, Dijebak Ikut Tes Sekuriti, Malah Lulus Jadi Polisi
Tak seperti ruang kelas di sekolah negeri yang nyaman dengan segudang bantuan pemerintah, ruang kelas 5 di SD tersebut bertempat di bangunan tanpa dinding tembok yang layak.
Alhasil, siswa seakan belajar di alam terbuka di mana lalu-lalang masyarakat bisa mengganggu kegiatan belajar mereka.
Papan bekas cor dan spanduk bekas pileg dipakai untuk menutupi bangunan. Sementara satu dinding dibiarkan terbuka dengan hanya dibatasi pagar penghalang yang terbuat dari bilah bambu.
"Ini papan bekas ngecor ruang kelas dipakai sebagai penutup bangunan. Sama spanduk bekas ini saya dapat dari mana-mana," ujar Abdul.
Sementara kelas 1 terpaksa belajar di ruang tengah sebuah rumah yang berada tak jauh dari sekolah tersebut. Murid-murid kelas 1 ini belajar dengan lesehan dan dengan sarana meja seadanya.
"Kantornya nggak ada. Kalau rapat-rapat guru paling di rumah saya. Lagian gurunya juga cuma 6 orang. Jadi memang pas banget. Kalau salah satu sakit, ya terpaksa saya yang ngajar menggantikan," paparnya.
Abdul bercerita, sekolah itu didirikan berangkat dari keresahannya melihat kondisi masyarakat kampung yang sulit mengakses pendidikan. Sehingga keluarganya membulatkan niat membangun sebuah lembaga pendidikan pada tahun 2013.
"Bayangkan saja sebelum ada sekolah ini, masyarakat harus berjalan kaki paling dekat 2 kilometer untuk bisa sampai ke SD Negeri Girimukti atau 4 kilometer ke SD Negeri Pangheotan 1," kata Abdul.
"Dulu bocah-bocah SD di sini berangkat jam 5 subuh jalan kaki biar gak terlambat," imbuhnya.
Pemkab Bandung Barat seakan tutup mata atas ketimpangan sarana dan fasilitas sekolah swasta. Sekolah negeri seakan memiliki "kemewahan" sendiri dengan mudahnya akses pengadaan ruang kelas maupun sarana dan prasarana.
Jauh berbeda dengan SD IT Permata yang didirikan menggunakan biaya tabungan keluarga. Dari tabungan keluarga itu terbangunlah 2 ruang kelas. Kemudian berkembang atas uluran bantuan dari APBD Pemprov Jabar untuk dibangun 2 ruang kelas baru atas dorongan anggota DPRD Jabar asal Indramayu.