BANDUNG, KOMPAS.com - Dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (FITB ITB), Heri Andreas, menanggapi banjir di Braga, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (11/1/2024).
Heri mengatakan, pengelolaan volume air yang meningkat saat hujan deras dapat dilakukan dengan infiltrasi (penguatan daya serap) maupun run off (penguatan daya tampung).
Jika infiltrasi diutamakan sebagai solusi, maka lahan terbuka hijau harus sangat banyak sehingga daya serap air semakin besar.
Baca juga: Banjir Bandang di Bandung, Belasan Rumah Roboh, Puluhan Motor Hanyut
Namun, wilayah di Kota Bandung khususnya bagian utara, yang mestinya menjadi daerah serapan sudah dipenuhi dengan permukiman.
Hal itu dinilai membuat solusi dengan infiltrasi atau menambah daya serap menjadi tidak realistis.
Pilihan lainnya, penguatan daya tampung. Dapat dilakukan dengan normalisasi area sungai, naturalisasi, maupun kolam retensi. Namun, hal ini pun memiliki tantangan tersendiri karena kondisi kota yang sudah padat.
Baca juga: Warga Braga Bersihkan Lumpur Tebal Sisa Banjir
"Realitasnya, apakah daya tampung dapat disiapkan secara maksimal karena di lapangan sudah padat sehingga sulit untuk pelebaran sungai. Kolam retensi pun sulit dilakukan. Akhirnya yang memungkinkan ditanggul setinggi mungkin. Persoalannya, ketika tanggul tersebut jebol bencananya juga luar biasa," ujarnya, Jumat (12/01/2024).
Heri menjelaskan, kapasitas Sungai Cikapundung relatif kecil sehingga tidak dapat menampung volume air yang besar.
"Pemerintah sudah melakukan mitigasi melalui pembuatan tanggul sehingga sedikit menambah kapasitas sungai dan air tidak luber ke samping kiri dan kanan sungai. Namun, ketika volume airnya besar akan ada potensi tanggulnya jebol," tuturnya.
Curah hujan, sambung dia, memiliki karakteristik rendah, tinggi, dan bisa sangat tinggi serta memiliki masanya. Hingga akhirnya muncul siklus banjir 5 tahunan hingga dalam waktu yang lebih cepat maupun lama.
"Banjir kemarin itu, kemungkinan volume yang biasa terjadi sekian puluhan tahunan. Jadi ada anomali curah hujan yang sangat besar," tuturnya.
Ia mencontohkan sejumlah kota di negara seperti Jepang, Amerika Serikat, Cina, Thailand, hingga Filipina sudah menerapkan infiltrasi yang sangat baik untuk mempersiapkan apabila terjadi siklus banjir tertentu.
"Di Jepang misalnya Infiltrasinya dibuat bagus, kapasitasnya dibuat sangat besar. Kiri kanan sungai dapat menampung seandainya ada banjir," ujarnya.
Di pinggiran sungai di Jepang, kata dia, ketika hujannya kecil lokasi tersebut dapat menjadi area bermain hingga fasilitas olahraga. Ketika curah hujan tinggi area tersebut menjadi daya tampung banjir.
Selain itu, solusi lain yang sudah ada di Tokyo, Jepang, seperti katedral bawah tanah yang dibangun di bawah infrastruktur gedung-gedung untuk daya tampung air yang sangat luar biasa.