Ada pula kurator yang ingin meniti karir. Bagi mereka, SSAS bisa menjadi wadahnya. Bahkan SSAS menyediakan mentornya.
"Bisa menjadi semacam transit bagi mereka sebelum berkiprah lebih jauh,” ucapnya.
Pameran 'Menyatakan Jarak'
Seperti yang sekarang terlihat di SSAS. Ada sejumlah pameran yang tengah digelar.
Misalnya di Ruang Sayap, terdapat dua perupa muda, Rizal N Ramadhan dan Nadya Jiwa memamerkan karya bertajuk ‘Batang Mati, Cendawan Tumbuh’ dengan kurator Puja Anindita.
Baca juga: Bale Pinton di Situ Ciburuy Tak Didirikan Kembali, Seniman dan Budayawan Meradang
Rizal menampilkan instalasi seni dan cetak digital. Sedangkan Jiwa menampilkan lukisan. Karya mereka berangkat dari amatan terhadap kondisi sungai kehidupan yang beberapa bagiannya telah termakan usia, hingga melahirkan tafsir soal abadi dan yang sementara.
Kemudian di Ruang Bale Tonggoh, terdapat pameran bertajuk ‘Menyatakan Jarak : Bandung-Leiden’. Pameran yang diikuti mahasiswa Integrated Arts Universitas Parahyangan (Unpar) ini mengajak pengunjung menyelami spektrum lain dari sejarah masa lalu.
Sejumlah karya ditampilkan. Beberapa di antaranya foto monokrom objek salah satu sudut di Kota Bandung yang ditempel di atas plastik berwarna cerah karya Zaldi Armansyah.
Karya lainnya datang dari Zico Albaiquni. Beberapa arsip foto dengan objek yang berbeda disatukan dengan latar Kebun Raya Bogor.
Pada masa sebelum kolonial Belanda, tempat tersebut merupakan hutan buatan. Ada titik di lokasi tersebut menjadi tempat semedi, prasasti, satu keluarga bermain, hingga berbagai makanan.
Karya lain yang sarat akan kritik sosial adalah sawit. Karya ini menggambarkan bagaimana hutan di Indonesia diubah menjadi kebun.
Bagus Pandega dan Kei Imazu menggambarkan lukisan tersebut dengan dominasi hijau dan hitam.
Menunjukan sejarah perkembangan perkebunan kelapa sawit oleh pemerintah Hindia Belanda hingga Jepang.
Uniknya, dengan menggunakan mesin bernama Artificial Green by Nature 3.0, lukisan itu perlahan-lahan akan dihapus.
Caranya, mesin itu digerakan oleh sistem komputasi yang berasal dari sensor pohon sawit. Di ujung mesin, terdapat kuas dan selang air untuk menghapus lukisan. Pohon sawit yang berada di ruangan disinari oleh sinar ultraviolet agar tetap hidup.
“Lukisan ini menggambarkan bagaimana pohon sawit berkembang di wilayah Palembang hingga berkembang dan menyumbang deforestasi yang mengancam tanaman dan hewan endemik (di berbagai wilayah),” ucap penggagas pameran tersebut, Theo Frids Hutabarat.
Menurut Theo, proyek besar ‘Anonim’ berlatar dari dibukanya arsip kolonial di KITLV secara digital dan daring. Akses tersebut bisa mengantarkan kepada ruang yang sudah dikenal namun di saat bersamaan tampak asing, sebab ada di luar spektrum sejarah yang dikenalkan di bangku sekolah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.