Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nasib Industri Bata Merah di Bandung, Bertahan di Tengah Krisis Lahan hingga Gempuran Teknologi

Kompas.com - 22/08/2022, 13:50 WIB
M. Elgana Mubarokah,
Reni Susanti

Tim Redaksi

Setelah itu, bata merah harus ditaburkan dengan abu atau pasir kemudian dijemur langsung di bawah sinar matahari hingga kering.

Jika bata merah sudah mengering dan mengeras, langkah selanjutnya yakni membakarnya dalam lio atau tungku pembakaran.

Pembakaran hanya dilakukan sekali dalam kurun waktu satu setengah bulan atau sekitar 45 hari.

Dalam sekali bakar, Asep dan pekerja lainnya bisa menyelesaikan 20.000 bata. Batu bata yang telah dibakar, siap untuk dipasarkan dan dibanderol dengan harga Rp 600 per buah.

Bata merah yang tercipta dari tangan lelaki paru baya ini, kemudian disusun rapih menjulang seperti dinding.

"Proses membakarnya sehari semalam, jadi ya harus ditungguin kaya sekarang," kata Asep.

Biaya Produksi Tinggi

Bertahun-tahun lamanya, Asep menjalani profesi perajin bata merah. Kini ia dihadapkan pada persoalan pelik yang lambat laun mengancam mata pencariannya.

Tak hanya itu, pil pahit juga harus ditelannya, ihwal biaya produksi yang saat ini sudah melambung tinggi.

Baca juga: Catat, Ini Rekayasa Lalu Lintas di Bandung 22-28 Agustus 2022, Sejumlah Jalan Jadi 2 ArahKadang kala, sambung dia, para pekerjanya mengeluhkan hasil atau pendapatan yang tak sebanding dengan apa yang dikerjakannya.

"20.000 bata yang saya diproduksi, gak pasti semuanya bakal laku, adakan bata jenis baru dan bata itu banyak diminati sekarang, bagaimana nasibnya pengrajin seperti saya?" jelas Asep.

Krisis Lahan

Selain dibingungkan dengan penjualan yang kian merosot akibat kalah saing dengan teknologi baru.

Ia juga mengeluhkan, berkurangnya lahan tanah lempung yang menjadi bagian penting pembuatan bata merah.

Saat ini, kata Asep, para pemilik modal sudah banyak menguasai hak milik lahan desa.

Kedatang pemilik modal ini, mengancam ia dan pengusaha bata merah lainnya. Pasalnya, ia harus mengeluarkan biaya sewa ke pemilik lahan untuk mendapatkan bahan tanah lempung.

“Sekarang mah rata-rata kita tanah habis, semuanya milik orang. Jadi industri ini semuanya pada ngontrak sama yang punya lahan (untuk bahan baku tanah). Jadi setiap produksi, harus bayar ke yang punya lahan Rp 50 per buah, terus bayar pegawai Rp 70 per buah. Terus bahan bakar, dulu mah ambil dan cari sendiri, sekarang harus beli. Jadi keuntungan tidak ada,” ungkapnya.

Tetap Bertahan

Meski rintangan zaman, terus menggerogoti usahanya. Asep beserta warga yang lain mengaku masih ingin bertahan, hingga tak ada lagi peminat batu bata merah.

Baginya, tak ada pilihan lain selain mengandalkan pekerjaan sebagai perajin bata merah.

“Tetap dikerjakan biar ada kegiatan saja, daripada ngelamun. Ieu mah sataun deui, paling sataun deui seep (ini paling tinggal setahun lagi habis/tutup). Sekarang juga orang-orang yang ngebangun lebih banyak yang memilih bata ringan hebel karena lebih murah,” pungkas Asep.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Wisata Sejarah Pendopo Kota Bandung: Syarat, Cara Daftar, dan Jam Buka

Wisata Sejarah Pendopo Kota Bandung: Syarat, Cara Daftar, dan Jam Buka

Bandung
Kecelakaan di Subang, Kru Sempat Perbaiki Bus Beberapa Saat Sebelum Insiden Maut

Kecelakaan di Subang, Kru Sempat Perbaiki Bus Beberapa Saat Sebelum Insiden Maut

Bandung
Polisi Sebut Tidak Ada Jejak Rem dalam Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang

Polisi Sebut Tidak Ada Jejak Rem dalam Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang

Bandung
Detik-detik Kecelakaan Bus Siswa SMK Lingga Kencana di Subang, Penumpang Teriak 'Allahu Akbar'

Detik-detik Kecelakaan Bus Siswa SMK Lingga Kencana di Subang, Penumpang Teriak "Allahu Akbar"

Bandung
Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang, Muslim: Saya Tanya Tiga Kali, Aman atau Tidak?

Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang, Muslim: Saya Tanya Tiga Kali, Aman atau Tidak?

Bandung
Diduga Mabuk, Pria Asal Cileunyi Tewas Tenggelam di Sumur

Diduga Mabuk, Pria Asal Cileunyi Tewas Tenggelam di Sumur

Bandung
Prakiraan Cuaca Bandung Hari Ini Minggu 12 Mei 2024, dan Besok : Siang ini Hujan Sedang

Prakiraan Cuaca Bandung Hari Ini Minggu 12 Mei 2024, dan Besok : Siang ini Hujan Sedang

Bandung
Sederet Fakta Kecelakaan Maut Bus Rombongan SMK Lingga Kencana di Ciater, Subang

Sederet Fakta Kecelakaan Maut Bus Rombongan SMK Lingga Kencana di Ciater, Subang

Bandung
Pemkab Subang Siapkan 30 Ambulans untuk Antar-Jemput Korban Kecelakaan Bus di Ciater

Pemkab Subang Siapkan 30 Ambulans untuk Antar-Jemput Korban Kecelakaan Bus di Ciater

Bandung
Sopir Bus Rombongan SMK Lingga Kencana Depok yang Kecelakaan di Subang Masih Dirawat

Sopir Bus Rombongan SMK Lingga Kencana Depok yang Kecelakaan di Subang Masih Dirawat

Bandung
Identitas 11 Korban Tewas Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang

Identitas 11 Korban Tewas Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang

Bandung
Kesaksian Sopir Bus Maut di Subang, Hilang Kendali Saat Rem Tak Berfungsi

Kesaksian Sopir Bus Maut di Subang, Hilang Kendali Saat Rem Tak Berfungsi

Bandung
Biaya Pengobatan Korban Kecelakaan Bus di Subang Ditanggung Pemerintah

Biaya Pengobatan Korban Kecelakaan Bus di Subang Ditanggung Pemerintah

Bandung
Polisi Selidiki Penyebab Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang

Polisi Selidiki Penyebab Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang

Bandung
Kecelakaan Bus di Subang, 1 dari 11 Korban Tewas Diserahkan ke Keluarga

Kecelakaan Bus di Subang, 1 dari 11 Korban Tewas Diserahkan ke Keluarga

Bandung
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com