Setelah itu, bata merah harus ditaburkan dengan abu atau pasir kemudian dijemur langsung di bawah sinar matahari hingga kering.
Jika bata merah sudah mengering dan mengeras, langkah selanjutnya yakni membakarnya dalam lio atau tungku pembakaran.
Pembakaran hanya dilakukan sekali dalam kurun waktu satu setengah bulan atau sekitar 45 hari.
Dalam sekali bakar, Asep dan pekerja lainnya bisa menyelesaikan 20.000 bata. Batu bata yang telah dibakar, siap untuk dipasarkan dan dibanderol dengan harga Rp 600 per buah.
Bata merah yang tercipta dari tangan lelaki paru baya ini, kemudian disusun rapih menjulang seperti dinding.
"Proses membakarnya sehari semalam, jadi ya harus ditungguin kaya sekarang," kata Asep.
Biaya Produksi Tinggi
Bertahun-tahun lamanya, Asep menjalani profesi perajin bata merah. Kini ia dihadapkan pada persoalan pelik yang lambat laun mengancam mata pencariannya.
Tak hanya itu, pil pahit juga harus ditelannya, ihwal biaya produksi yang saat ini sudah melambung tinggi.
Baca juga: Catat, Ini Rekayasa Lalu Lintas di Bandung 22-28 Agustus 2022, Sejumlah Jalan Jadi 2 ArahKadang kala, sambung dia, para pekerjanya mengeluhkan hasil atau pendapatan yang tak sebanding dengan apa yang dikerjakannya.
"20.000 bata yang saya diproduksi, gak pasti semuanya bakal laku, adakan bata jenis baru dan bata itu banyak diminati sekarang, bagaimana nasibnya pengrajin seperti saya?" jelas Asep.
Selain dibingungkan dengan penjualan yang kian merosot akibat kalah saing dengan teknologi baru.
Ia juga mengeluhkan, berkurangnya lahan tanah lempung yang menjadi bagian penting pembuatan bata merah.
Saat ini, kata Asep, para pemilik modal sudah banyak menguasai hak milik lahan desa.
Kedatang pemilik modal ini, mengancam ia dan pengusaha bata merah lainnya. Pasalnya, ia harus mengeluarkan biaya sewa ke pemilik lahan untuk mendapatkan bahan tanah lempung.
“Sekarang mah rata-rata kita tanah habis, semuanya milik orang. Jadi industri ini semuanya pada ngontrak sama yang punya lahan (untuk bahan baku tanah). Jadi setiap produksi, harus bayar ke yang punya lahan Rp 50 per buah, terus bayar pegawai Rp 70 per buah. Terus bahan bakar, dulu mah ambil dan cari sendiri, sekarang harus beli. Jadi keuntungan tidak ada,” ungkapnya.
Meski rintangan zaman, terus menggerogoti usahanya. Asep beserta warga yang lain mengaku masih ingin bertahan, hingga tak ada lagi peminat batu bata merah.
Baginya, tak ada pilihan lain selain mengandalkan pekerjaan sebagai perajin bata merah.
“Tetap dikerjakan biar ada kegiatan saja, daripada ngelamun. Ieu mah sataun deui, paling sataun deui seep (ini paling tinggal setahun lagi habis/tutup). Sekarang juga orang-orang yang ngebangun lebih banyak yang memilih bata ringan hebel karena lebih murah,” pungkas Asep.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.