Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Petani Kopi di Garut soal Kulit Kopi, Dulu Sampah Kini Jadi Cuan Tambahan

Kompas.com - 09/10/2022, 16:12 WIB
Ari Maulana Karang,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

Pupuk tersebut, biasa digunakan untuk menggemburkan tanah dan mengembalikan unsur hara tanah dan mengurangi penggunaan pupuk kimia hingga biaya yang dikeluarkan para petani bisa berkurang.

“Untuk petani sendiri, tentu ada nilai ekonomisnya, minimal pengeluaran buat beli pupuk berkurang,” katanya.

Setelah digunakan para petani dalam kelompok taninya, sejak beberapa tahun ini, menurut Asep dirinya juga menerima permintaan dari banyak petani yang bertani tanaman holtikultura. Dalam satu tahun, menurut Asep permintaannya bisa mencapai 10 ton.

“Kadang kita kesulitan juga memenuhi permintaan karena memang kita belum bisa mengatur manajemen produksinya,” katanya.

Pupuk organik dari campuran kulit kopi produksinya, menurut Asep dijual seharga Rp 1.200 per kilogramnya, harga ini tentu jauh lebih murah dibanding pupuk kimia yang selama ini banyak digunakan oleh para petani.

“Memang kekurangannya lebih lambat penyerapannya, tapi setelah diserap, lebih awet tidak seperti pupuk kimia yang langsung terserap oleh tanah tapi harus diulang pemupukannya hingga beberapa kali,” katanya.

Fenomena tumbuhnya petani kopi di Garut yang mengolah langsung hasil panen hingga jadi kopi siap minum yang kemudian juga menimbulkan masalah baru karena ada limbah kulit kopi yang jumlahnya cukup besar, menarik perhatian Universitas Garut untuk memberi pendampingan pada kelompok tani kopi.

“Di Desa Tanjung karya saja, rata-rata satu tahun ada 200 sampai 300 ton limbah kulit kopi, para petaninya, sekarang sudah menggagas mengolah kulit kopi jadi pupuk organik, kita coba berikan dampingan dalam program pengabdian masyarakat,” jelas Muslim Al Kautsar, Ketua Tim Penyuluhan dan Pendampingan Universitas Garut.

Menurut Muslim, Ada dua fakultas yang dilibatkan dalam program pengabdian pada masyarakat yang dilakukan Universitas Garut bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi ini yaitu Fakultas Ekonomi dan Fakultas Pertanian yang berupaya apa yang telah dilakukan para petani bisa lebih berkembang dan memberi banyak manfaat pada masyarakat.

Baca juga: Diimingi Uang, Siswi SMP di Sumbawa Dicabuli Tetangga Beberapa Kali di Kebun Kopi

“Kita coba mengkolaborasikan mulai dari teknik proses pembuatan pupuk, manajemen produksi, manajemen keuangan hingga manajemen pemasaran sampai packaging pupuk,” katanya.

Menurut Muslim, meski telah memulai produksi pupuk organik, para petani masih menghadapi masalah dalam hal manajemen produksi dimana petani belum bisa mengatur ketersediaan bahan baku, penyimpanan bahan baku hingga alat-alat produksi dan belum adanya uji labolatorium kandungan pupuk yang diproduksi.

Lewat program pengabdian masyarakat ini, Muslim berharap masalah-masalah yang dihadapi para petani tersebut, bisa ikut dibantu pihaknya agar pupuk organik yang diproduksi para petani, bisa diterima pasar dengan kualitas yang tentunya teruji hingga akhirnya apa yang dilakukan para petani bisa jadi contoh dalam pengolahan limbah kulit kopi.

“Ini langkah awal yang mudah-mudahan berkesinambungan hingga bisa jadi percontohan dalam pengolahan limbah kulit kopi, karena memang potensinya cukup besar,” katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com