Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjalanan dan Mimpi Tan Deseng, Sang Maestro Karawitan Sunda...

Kompas.com - 07/11/2022, 08:54 WIB
Reni Susanti

Penulis

Ia pula yang memperkenalkan 'ketuk tilu' yang menjadi dasar jaipong melalui pita rekamannya yang digarap bersama pemusik-pemusik rakyat dari Karawang.

Rekaman yang kini menjadi artefak budaya tersebut dilakoninya sejak tahun 1950-an.

Penghargaan dari Presiden

Kecintaan dan upaya Tan Deseng melestarikan budaya Sunda berbuah penghargaan dari berbagai pihak. Seperti wali kota Bandung, gubernur Jabar, dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.

Lulusan SMP Tsing Hoa ini pun menerima penghargaan dari Presiden Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Ia mendapat Anugrah Maestro Seni Budaya Sunda.

Mimpi Tan Deseng

Sebelum meninggal, Tan Deseng dan timnya sedang getol menyelamatkan artefak budaya sunda berupa data audio hasil perekaman seni musik atau karawitan milik Tan Deseng.

Dari 425 pita rekaman yang dimilikinya hanya 80 persennya yang diperkirakan bisa diproses lebih lanjut.

Pita-pita tersebut merupakan hasil rekaman tahun 1950an-1970an. Ada banyak pita langka, di antaranya Tarawangsa Buhun, Angklung Kabuyutan, Calung Baduy, Kiser Cirebonan, Celempungan, Karinding Buhun, dan lainnya.

Ada juga pita yang namanya familiar di telinga orang Sunda. Seperti pita wayang golek Abah Sunarya, Aming Wiganda, Dede Aming Sutarya, hingga Ade Kosasih.

Untuk upaya revitalisasi dan penyelamatan aset budaya sunda ini, Tan Deseng mengalami kesulitan pembiayaan, terutama saat pandemi melanda.

Sebab dia tidak hanya menghidupi dirinya sendiri, melainkan seniman lainnya. Ketika ada seniman sunda yang tidak makan, ia akan menjual kecapi atau apapun barang yang dimilikinya untui makan.

Peneliti dari Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya (UMTAS), Asep Wasta mengatakan, dalam terminologi kesenian nusantara dikenal folklore atau bertutur. Seni berkembang dari cerita pelatihnya. Berbeda dengan barat yang memiliki partiture atau tulisan.

"Apa yang dilakukan Tan Deseng (lewat rekaman pita) juga membuatnya partiture. Itu merupakan artefak budaya sunda," imbuh Wasta.

Alami "Bully" sebagai Orang "China"

Apa yang dicapai Tan Deseng tidaklah mudah. Asep Wasta mengatakan, sebagai orang Tionghoa, ia mendapatkan banyak diskriminasi.

Sejak kecil ia kerap di-bully "kamu anak China". Saat itu, yang membela adalah pembantunya, orang Sunda.

Dalam diri Tan Deseng kecil ia sempat bertanya-tanya kenapa yang membela bukan orangtuanya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com