Ia mencontohkan, sejak dulu menolak gas melon masuk desa karena akan mengubah siklus kehidupan. Dulu anak-anak pedesaan terbiasa mencari kayu bakar di kebun, kini lebih banyak diam di rumah memegang hp, menonton tv dan jalan-jalan menggunakan motor.
“Akibatnya orang sekarang terbelenggu dengan kredit motor, bayar listrik dan kuota. Sedangkan kayu berjatuhan tak ada yang memungut, sawah terbentang tidak ada yang menggarap, sehingga ke depan kita kehilangan produksi pertanian dalam 10-20 tahun ke depan karena tidak ada lagi tukang macul, tukang tandur,” ucapnya.
Saat ini, kata Dedi, sejumlah sektor industri mengalami penurunan. Banyak pabrik yang tutup hingga akhirnya terpaksa merumahkan para pegawainya.
“Sekarang pertanyaannya mereka mau ke mana, makan apa? Ngojek? Sekarang sudah over. Startup? Startup juga sekarang banyak yang lost. Sehingga jangan sekali-kali masuk dalam kemajuan semu berdasarkan statistik digital. Kita tidak pernah tahu apa apakah itu ada uangnya atau tidak. Tetapi yang penting bagi kita itu adalah pangan,” katanya
Dedi pun merasa cemas dengan gerakan ketahanan pangan yang saat ini terlihat hanya formalitas.
Oleh karena itu, Dedi menilai harus ada siklus berbeda antara masyarakat pedesaan dan perkotaan. Jika hal tersebut telah dibuat maka Indonesia tidak perlu lagi takut krisis.
“Jangan lumpuhkan kreatifitas rakyat Indonesia, mau apa saja ada bisa jadi makanan asal siklusnya dijaga. Tugas negara hanya memastikan tidak ada pencemaran karena kalau masih ada pencemaran rakyat bisa mati kelaparan," katanya.
"Siklus itu mati, sekarang semua orang orientasinya berdagang, coba cek sekarang makin banyak warung, yang terjadi suatu saat kebangkrutan massal salah satunya karena belanja di minimarket tidak bisa ditawar tapi belanja ke warung diutang,” lanjut Dedi.
Baca juga: Dedi Mulyadi Marah Lubang Galian Jadi Tempat Sampah dan Limbah Ilegal
Ia berpendapat bahwa pemerintah harus membuat cara agar masyarakat tidak tergantung pada uang. Masyarakat harus didorong agar memiliki siklus produksi.
Jangan sampai, lanjut Dedi, daerah-daerah penghasil beras terbesar di Indonesia seperti Karawang dan Indramayu justru masyarakatnya paling banyak mengonsumsi bantuan pemerintah.
“Indonesia kehilangan kulturalnya. Bicara ketahanan pangan harus punya kebun dan sawah. Ketahanan pangan dimulai dengan membangun diri kita. Mulai sekarang hilangkan kebiasaan konsumtif,” ujarnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.