Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penampakan 2 Ekor Anak Meong Congkok yang Dievakuasi dari Warga di Sanggabuana

Kompas.com - 01/02/2023, 20:39 WIB
Farida Farhan,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

KARAWANG, KOMPAS.com-Warga menemukan dua ekor anak kucing hutan di Pegunungan Sanggabuana.

Kucing kuwuk dengan nama latin Prionailurus bengalensis itu oleh masyarakat Jawa Barat sering disebut meong congkok.

Koordinator Mitra Ranger Sanggabuana Wildlife Ranger (SWR) Wilayah Mekarbuana Eka Mahardi mengatakan, dua anak meong congkok itu dievakuasi dari warga yang sedang menebang bambu di sekitar Gunung Jayanti, Pegunungan Sanggabuana, Jawa Barat, Minggu (29/1/2023).

“Waktu itu di sekitar Gunung Jayanti ada masyarakat yang menebang rumpun bambu, ternyata merupakan tempat meong congkok, dan ditemukan 2 ekor anaknya yang kemungkinan berumur 1-2 minggu," kata Eka dalam keterangan yang diterima Kompas.com, Rabu (1/2/2023).

Baca juga: Ditemukan Ular Naga Jawa di Pegunungan Sanggabuana, Begini Wujudnya

Saat ditemukan, induk kucing itu sudah tidak ada. Ia menilai induknya kabur karena rumpun bambu yang jadi rumahnya habis ditebang.

Karena ada indikasi dua ekor anak kucing hutan ini akan diambil oleh warga, Eka Mahardi meminta dua ekor anak kucing tersebut.

"Kami evakuasi ke Basecamp Mitra Ranger di Mekarbuana," kata dia.

Eka kemudian berkoordinasi dengan dokter hewan dari lembaga konservasi untuk penanganan pertama dan segera melapor ke Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat.

Baca juga: Cari Cuaca Hangat, Ribuan Burung Raptor Bermigrasi Ribuan Kilometer Lintasi Pegunungan Sanggabuana

Direktur Eksekutif Sanggabuana Conservation Foundation (SCF) Solihin Fu'adi mengatakan, kucing hutan yang merupakan satwa dilindungi itu ditemukan ranger saat ranger berpatroli di sekitar Green Canyon, Gunung Sulah, sampai puncak Sanggabuana.

"Tim yang ke jalur puncak dan Gunung Jayanti yang mengevakuasi," kata Inong, panggilan akrab Solihin Fu'adi.

 

Kucing hutan ini masuk dalam daftar satwa dilindungi dalam Permen P.106/2018, sehingga SCF melapor ke BBKSDA Jawa Barat, Seksi Konservasi Wilayah (SKW) IV Purwakarta.

Namun oleh BBKSDA Jawa Barat diminta untuk dilepasliarkan lagi di hutan. Padahal umurnya baru beberapa minggu, belum bisa berjalan.

"Induknya pun sudah tidak terlihat karena habitatnya di hutan bambu sudah ditebang habis," saat dihubungi.

Baca juga: Saat Pemburu Liar Berkedok Pengusir Hama Ancam Satwa Langka Pegunungan Sanggabuana

Inong mengaku kawatir anakan kucing hutan akan kembali ditangkap warga atau mati. Sebab, belum bisa mandiri dan dikhawatirkan tidak bertemu dengan induknya.

Karena itu, kucing hutan itu sementara dirawat atau menunggu untuk dikirim ke lembaga konservasi khusus.

"Untuk lepasliarkan pun akan nunggu dokter hewan dulu, apakah layak atau tidak dilepasliarkan," kata dia.

Resiko rendah dari kepunahan tapi dilindungi

Inong mengatakan, Meong Congkok merupakan salah satu karnivora kecil yang menghuni Pegunungan Sanggabuana.

Kucing hutan ini juga bisa ditemui di Asia Tengah, Asia Tenggara, dan Asia Timur.

Motif rambut Kucing Hutan mirip dengan macan tutul, dan merupakan kucing hutan terkecil dibanding dengan jenis kucing hutan lainnya. 

Kucing hutan dari keluarga Prionailurus ini biasa aktif pada siang hari, dan memangsa buruan berupa tupai, tikus, hewan kecil lain, dan seranga.

Biasanya kucing hutan akan membuat sarang berupa lubang, memanfaatkan gua-gua kecil atau lubang di bawah pohon besar atau di semak-semak, dan menyukai tempat dekat dengan sumber air.

Baca juga: Katak Tanduk Jawa Teridentifikasi di Pegunungan Sanggabuana

Sama seperti keluarga kucing lain, kucing hutan yang sering disebut Blacan ini juga jago memanjat pohon, dan sering berada di atas pohon pada malam hari untuk mengawasi calon mangsanya.

Kucing hutan ini sudah susah ditemui di alam karena masifnya perburuan untuk dipelihara sebagai hewan peliharaan.

Dibanding dalam habitat aslinya, kucing hutan kadangkala lebih mudah ditemui di marketplace.

"Selain perburuan liar, alih fungsi lahan hutan dan rusaknya habitat menjadi penyebab menurunnya populasi kucing hutan di alam," kata Inong.

 

Dalam The International Union for Conservation of Nature's (IUCN) Red List, kucing hutan masuk dalam kategori Least Concern (LC) atau resiko rendah.

Sedangkan dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) kucing yang sering dikira anak macan ini masuk dalam kategori Appendiks II.

"Artinya masuk dalam daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, namun mungkin terancam jika perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan," ujar Inong.

Baca juga: Tim Eksplorasi SCF Identifikasi 140 Jenis Burung dan 5 Primata di Pegunungan Sanggabuana

Walaupun dalam IUCN Red List merupakan satwa dengan status resiko rendah, kata Inong, kucing hutan merupakan satwa dilindungi yang masuk dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No. P. 106/MENLHK/SETJEN/KUM/1.12.2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018  tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi

"Dengan status Kucing Hutan yang dilidungi ini, tentu saja karnivora ini tidak bisa diperjualbelikan atau dipelihara dengan bebas dan tanpa izin," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com