KOMPAS.com - Empat petani di Cikajang, Kabupaten Garut, divonis 10 bulan penjara karena kasus penebangan pohon di kebun yang mereka sebut sebagai lahan negara yang terlantar.
“Hakim tidak melihat apa latar belakang mereka menggarap lahan itu”, kata kuasa hukum para petani, yang menyebut kasus tersebut jauh dari keadilan agraria.
Pupus sudah harapan Nandang, Saepudin, Ujang Juhana, dan Pakih untuk keluar dari penjara.
Pada Senin (9/2/2023), empat petani warga Desa Cikajang dan Desa Margamulya di Kabupaten Garut, Jawa Barat, itu divonis 10 bulan penjara.
Mereka dinyatakan terbukti melakukan kejahatan terhadap ketertiban umum dalam kasus penebangan pohon.
Vonis ini dua kali lipat dari tuntutan jaksa selama lima bulan bui.
Baca juga: 40 Petani Ditangkap di Bengkulu, Pengacara Siapkan Praperadilan
Desa para petani ini berlokasi di sekitar lahan perkebunan teh Cisaruni milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII.
Oleh badan usaha milik negara itulah, mereka dituduh melakukan penebangan pohon di Blok Cipancur 6 dan dilaporkan ke polisi, hingga akhirnya kini ditahan di Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Garut.
Serikat petani dan aktivis pembaruan agraria menilai vonis tersebut telah mencederai rasa keadilan, sementara pihak PTPN VIII mengatakan warga membabat tanaman produktif perusahaan.
“Hakim tidak melihat latar belakang kenapa mereka menggarap, kenapa mereka masuk ke wilayah PTPN. Majelis hakim tidak mempertimbangkan itu dalam putusannya, tidak melihat ketimpangan lahan dan sebagainya."
"Majelis hakim hanya melihat perbuatannya saja,” kata penasehat hukum keempat petani dari LBH Bandung, M. Rafi Saiful Islam.
Baca juga: 40 Petani Ditangkap, Gubernur Bengkulu: PT DDP Siap Serahkan 900 Hektar Tanah ke Petani
Atas putusan ini, para petani sepakat mengajukan banding.
“Saya mau banding saja, mau berjuang untuk mempertahankan kebenaran sampai kapanpun, karena saya tidak bersalah dalam kasus ini,” tegas Nandang (48) yang diamini tiga terpidana lainnya, saat ditemui di Rutan Garut, Jumat (10/2/2023).
Mereka mengaku tidak melakukan penebangan pohon seperti yang didakwakan.
Keempatnya, kata para petani hanya berada di tempat dan waktu yang salah.
Lahan yang terletak di wilayah PTPN VIII ini, menurut sebagian warga, “sudah terlantar dan jadi sarang hewan liar”.
Dalam dokumen pengadilan disebutkan, seorang saksi mengaku mendapati para terdakwa sedang mencacah pohon teh hingga tumbang dan menyisakan tunggak pohon dengan ketinggian sekira 10 cm dari dasar tanah.
Saksi tersebut kemudian melaporkan kejadian ini ke Polsek Cikajang.
Peristiwa ini, sebut Saepudin (61) memicu kerumunan warga di blok tersebut. Dia yang sedang menggarap kebun di sekitar 200 meter dari lokasi kemudian mengaku terpancing untuk ikut mendekat.
Baca juga: 40 Petani Ditangkap, Polda Bengkulu Bantah Ada Pemukulan
Hal yang sama dilakukan oleh Ujang Juhana (45) dan Nandang yang sedang berburu babi hutan.
Sementara Pakih (45) mengaku berada di situ karena hendak menemui Saepudin untuk memperbaiki gergaji listriknya yang rusak.
Mengaku tak tahu apa-apa, keempat petani ini justru kemudian diidentifikasi oleh pihak perkebunan sebagai pelaku penebangan pohon karena mereka tak memakai penutup wajah.
Di pengadilan, kata Saepudin, seorang saksi mengkonfirmasi ini.
“Kata saksi, [pelaku] lebih dari 50 orang, tapi yang ditangkap cuma empat orang. Kata saksi, semua pakai tutup muka, cuma yang empat ini enggak.”
Saepudin melanjutkan, ia tak mengenakan penutup wajah karena memang tidak bermaksud merusak dan hanya mau melihat.
“Ternyata di foto, kelihatan ada saya,” ujar Saepudin.
Baca juga: Sebar Berita Bohong di Grup Facebook, Seorang Petani Ditangkap Polisi
Mereka menjalani pemeriksaan selama dua hari satu malam.
Saat mereka menjalani pemeriksaan itu, kuasa hukum M. Rafi Saiful Islam menduga sejumlah aparat polisi mengambil pisau dan gergaji petani dan menetapkan barang-barang itu sebagai alat bukti.
“Diambil entah dari rumah terdakwa atau dari mana. Pokoknya saat terdakwa di-BAP [Berita Acara Pemeriksaan] di malam hari, penyidik membawa gergaji mesin, gergaji kecil, tapi para terdakwa tidak tahu karena sedang diperiksa,” tutur Rafi.
Selain gergaji-gergaji itu, alat bukti lain termasuk arit dan lima batang pohon teh yang telah dipotong.
Baca juga: Elsam: Paradoks, Pemerintah Bagi-bagi Sertifikat tetapi Petani Ditangkapi Saat Konflik Agraria
Terkait lima batang pohon teh itu, kata Rafi, “Para saksi, baik dari jaksa maupun perkebunan, tidak tahu ini pohon teh mana, siapa yang menebang, diambil dari Blok Cipancur 6 atau bukan. Tidak ada yang bisa menjelaskan.”
Dua pekan berselang, lanjut Rafi, keempat petani itu kembali dipanggil polisi, kali ini di kantor kepala desa. Alasannya, ada BAP yang terlewat. Tanpa curiga, keempatnya memenuhi penggilan itu.
“Waktu saya disuruh datang buat dimintai keterangan, saya pikir mau dikasih izin [menggarap lahan]. Saya kira begitu,” kata Ujang dengan nada sedih.
Pada 18 November 2022, saat berkas kasus dilimpahkan kejaksaan ke pengadilan, Nandang, Saepudin, Ujang, dan Pakih dijebloskan ke ruang tahanan.
Mereka didakwa dengan Pasal 107 huruf c Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang berbunyi: “Setiap orang secara tidak sah yang melakukan penebangan tanaman dalam kawasan perkebunan”, dengan ancaman pidana penjara paling lama empat tahun atau denda maksimal Rp4 miliar rupiah.
Baca juga: Bereskan Konflik Agraria Butuh Kepemimpinan Politik Jokowi
Keempat petani juga dijerat dengan Pasal 170 KUHP tentang menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama – namun hakim menjatuhkan vonis berdasarkan pasal dari UU Perkebunan.
PTPN VIII mengaku memiliki video sebagai bukti keempatnya adalah tokoh-tokoh petani yang belakangan terbukti bersalah oleh pengadilan.
Didik Prasetyo, Direktur PTPN VIII, berkata kepada BBC News Indonesia bahwa tindakan pengamanan sudah sesuai dengan arahan Menteri BUMN untuk mengamankan aset negara.
“Lahan terlantar itu harus dinyatakan oleh negara,” ujar Didik. Ia juga menyebut sebagian area kebun PTPN seolah-olah terlantar karena menunggu perbaikan. “Keuangan kami ini lagi berat,” kata ia beralasan.
Peristiwa pada Juni 2022 yang berujung pemidanaan para petani menjadi puncak dari problematika di Blok Cipancur 6 yang sudah berlangsung selama lebih dari lima tahun.
Baca juga: 21 Konflik Agraria di Indonesia Libatkan Masyarakat-PTPN
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.