Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Duduk Perkara 4 Petani di Garut Dipenjara karena Tebang Pohon di Lahan Milik PTPN

Kompas.com - 09/03/2023, 15:30 WIB
Rachmawati

Editor

 

Problematika di Blok Cipancur 6

Selama hidupnya, Saepudin mengaku tidak pernah berniat menggarap lahan di Blok Cipancur 6, meski lokasi kebun ini hanya 100 meter dari rumahnya.

Puluhan tahun tinggal di sekitar area perkebunan teh, Saepudin mengatakan menyaksikan sendiri, bagaimana pepohonan teh di sekitar rumahnya tumbuh lestari hingga kemudian “terlantar dan menjadi semak belukar”.

Meski kondisinya sudah seperti itu, Saepudin berkata, tak pernah sedetik pun ia berpikir untuk menggarap tanah tersebut.

“Tanah itu sudah bala [berantakan], tehnya sudah tidak kelihatan, sudah seperti hutan belantara. Bahkan di situ ada binatang-binatang buas seperti ular dan babi hutan,” sebut Saepudin.

“Masyarakat di sana, termasuk saya, tidak ada yang berani [menggarap] karena takut hukum.”

Baca juga: Soal Bereskan Konflik Agraria, Jokowi: Kalau Cuma Duduk di Kantor, Tidak Akan Selesai

Saepudin dan warga sekitar mulai berani terpikir untuk menggarap lahan di Blok 6 Cipancur, kata dia, ketika ada seseorang yang mengaku perwakilan dari Perkebunan Cisaruni berjanji akan mengeluarkan izin penggarapan lahan blok itu bagi warga.

Namun ada syaratnya, imbuh Saepudin. Masyarakat diminta menolak kehadiran sebuah LSM yang berniat menggarap lahan di blok itu. Ini terjadi pada 2017 silam, kata dia.

“Kasihan saja sama masyarakat, kalau Blok Cipancur 6 sudah dikuasai LSM, nanti orang-orang sini cuma nonton, saya kasihan sama orang sini. Daripada sama orang lain, mending sama orang sini,” tutur Saepudin menirukan orang tersebut.

Usai pertemuan itu, lanjut Saepudin, warga sepakat meneken surat pernyataan menolak kehadiran LSM di Blok Cipancur 6.

Baca juga: Konflik Agraria Jadi Isu Prioritas, Komnas HAM: Konflik Agraria Masalah Bersama di Indonesia

Di lokasi, warga memasang plang penolakan tersebut. Sayang, warga tak memiliki dokumen tertulis untuk akad perjanjian ini.

Surat pernyataan penolakan LSM itu, menurut mereka, juga hanya rangkap satu dan dibawa oleh “perwakilan perkebunan”.

Bulan berlalu, izin penggarapan lahan yang dijanjikan tak pernah terwujud.

Warga, kata Saepudin, beberapa kali menagih janji itu tanpa hasil, hingga mereka nekat membabat lahan yang dijanjikan.

Tak lama, Saepudin mengingat, orang yang mengaku sebagai “utusan perkebunan” datang dan lagi-lagi berjanji akan memroses izin penggarapan lahan.

Warga diminta menyerahkan Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, serta uang Rp10.000. Sebulan berlalu, izin belum juga keluar. Warga pun kembali membabat lahan.

Baca juga: Demo Mahasiswa dan Petani: Kenaikan Harga BBM dan Konflik Agraria Lebih Membahayakan dari Perkara Sambo

“Datang lagi utusan perkebunan yang minta warga tanda tangan surat kuasa di atas materai dan membayar Rp 50.000. Saya laksanakan semuanya,” kata Saepudin.

Namun dua bulan kemudian, izin masih juga tak keluar. Saepudin kemudian menagih janji ke seorang warga yang menurutnya ditunjuk sebagai utusan perkebunan.

Oleh orang tersebut, Saepudin mengatakan diberi izin secara lisan untuk menggarap lahan dan ia diminta membentuk kelompok tani.

Sembilan bulan berikutnya, Saepudin dan kelompok taninya membabat lahan tersebut siang-malam sampai siap ditanami.

“Saya membabat sampai jam 10 malam, kadang jam 11 malam, memakai sisa-sisa tenaga,” kata Saepudin yang sehari-hari menjadi kuli arit untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

“Sesudah sembahyang Ashar saya turun ke kebun, kadang mandi di kebun. Saking butuhnya saya, saking kekurangannya.”

Baca juga: Moeldoko: Kami Terima 1.901 Aduan Konflik Agraria sejak 2021

Air mata kakek dari tiga cucu itu mulai mengambang.

“Ternyata sama perusahaan, dijual lahan yang sudah saya babat. Dijual, Rp300.000 per patok. Saya diusir. Padahal separuh sudah ditanami kopi, sudah ditanami singkong.

“Saat saya ambil singkong di situ, saya dikejar-kejar,” ucapnya dengan getir.

Sekarang, ia dipidanakan karena menebang pohon dari lahan yang dikatakannya belum pernah dia garap.

“Saya bingung kenapa perusahaan mempidana saya. Saya disangka membabat kebun Blok Cipuncur 6, padahal saya menggarap lahan yang bersebelahan dengan kebun itu,” ungkap Saepudin.

Ketua Serikat Petani Badega (SPB), Usep Saipul Miftah, menduga warga telah dijadikan alat untuk “mengusir LSM yang mau mengklaim lahan tersebut”.

“Mungkin dari pihak PTPN tidak bisa menghalangi LSM itu, akhirnya perkebunan minta bantuan ke masyarakat. Setelah LSM mundur karena ada penolakan dari masyarakat, janji tidak direalisasikan,” kata Usep. “Hanya iming-iming semata.”

Baca juga: Plus Minus Hadi Tjahjanto yang Berlatar Belakang TNI Atasi Konflik Agraria

Tarik ulur perusahaan dengan janji izin penggarapan lahan ini, kata Usep, membuat petani merasa dipermainkan.

"Akhirnya masyarakat mengambil keputusan [menggarap lahan]. Pertama; kondisi lahannya sudah terlantar.

"Kedua; masyarakat sudah melakukan apa yang disarankan [utusan] PTPN, tapi tetap tidak bisa menggarap lahan," ucap Usep.

Saat dikonfirmasi, Direktur PTPN VIII,, Didik Prasetyo mengatakan perkebunan tidak pernah mengirim utusan untuk melakukan apa yang dituduhkan warga.

“Saya khawatir itu orang luar mengaku-aku, mengatasnamakan PTPN mengutip orang-orang yang kerja sama dengan kita. Itu sering sekali terjadi,” kata Didik.

Perkara ‘lahan yang terlantar’

Hamparan kebun teh di Kabupaten Garut. PTPN VIII mengaku sebagian lahan mereka yang ditumbuhi gulma sedang menunggu perbaikan.BBC Indonesia/Yuli Saputra Hamparan kebun teh di Kabupaten Garut. PTPN VIII mengaku sebagian lahan mereka yang ditumbuhi gulma sedang menunggu perbaikan.
Dalam dokumen pengadilan, selain melakukan pemotongan pohon teh di Blok Cipuncur 6, empat petani ini juga didakwa melakukan pemotongan pohon teh di area milik PTPN Kabupaten Garut, antara lain Afdeling Cisarumo Blok Pasir Gedong I, Blok Pasir Gedong II, Blok Pasir Gedong III, Blok Jenggot I Desa Margamulya, Blok Cikandang I Desa Cikandang […] sejak bulan Januari 2022 hingga Oktober 2022”.

Disebutkan pula dalam dokumen legal itu, bahwa akibat perbuatan tersebut PTPN VIII Kabupaten Garut mengalami kerugian materil sejumlah ± Rp127.004.889.757.

Bagi penasihat hukum para terdakwa, ini adalah pertimbangan yang mengada-ada.

“Beban pertanggungjawaban pidananya ngawur. Terdakwa itu kan, menggarap di blok masing-masing, tapi kerugian Rp127 miliar itu untuk seluruh kawasan. Tidak adil membebankan pertanggungjawaban kepada terdakwa,” kata Penasehat Hukum Terdakwa dari LBH Bandung, M. Rafi Saiful Islam.

Baca juga: Menakar Penyelesaian Konflik Agraria di Tangan Mantan Panglima TNI dan Petinggi PSI

“Lagi pula lahan yang digarap para terdakwa tanahnya jadi lebih subur. Dari yang tidak produktif, diproduktifkan lagi, enggak nganggur,” kata Rafi.

“Putusan hakim tersebut tidak mencerminkan keadilan agraria, dimana hakim dalam pertimbangannya hanya menilai dari kacamata formalistik hukum saja.”

Nandang adalah petani yang tak punya ladang. Warga Desa Cikandang ini sehari-hari bekerja sebagai buruh tani dan harus menghidupi delapan anggota keluarganya.

Hanya sepelemparan batu dari rumahnya, ia melihat ladang milik PTPN VIII ditumbuhi gulma dan tak ada yang mengurus.

Ia berniat menanami lahan itu dengan tanaman keladi dan sayur mayur untuk mengisi perut keluarganya.

Baca juga: 40 Petani Sawit Ditangkap, 6 Kades di Mukomuko Bengkulu Minta Pemerintah Selesaikan Konflik Agraria dengan Adil

Niatnya semakin kuat setelah bergabung dengan Serikat Petani Badega dan mendapatkan pemahaman soal kebijakan reforma agraria yang beberapa kali disebut oleh Presiden Joko Widodo.

“Berani untuk menggarap setelah kami memahami hukum [Pasal 15 Undang-Undang Pokok Agraria – UUPA]. Sebelum memahami hukum itu, kami tidak berani,” kata Nandang.

Pasal 15 dalam UUPA berbunyi: “Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hukuman hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.”

Nandang mengaku mulai membabat kebun teh seluas 2.400 meter persegi di Blok Cikandang I yang sudah dipenuhi semak belukar pada Mei 2021. Menurut Nandang, ia juga tidak mengajukan permohonan izin untuk menggarap lahan itu.

“Ketika kita meminta izin kepada PTPN berarti secara prosedural hukum salah, karena tanah tersebut bukan milik PTPN, tapi milik negara. PTPN legalitasnya hanya mengontrak. Kalau sekarang bahasanya HGU [Hak Guna Usaha],” kata Nandang beralasan.

Baca juga: Demo Mahasiswa di Bengkulu, Soroti Tingginya Konflik Agraria

Nandang juga menyebut PTPN tidak mempraktikkan amanat hukum yang tertuang dalam Pasal 15 UUPA tersebut karena, “Faktanya kok malah dirusak, tanah ditelantarkan, tanah disewakan. Semestinya komoditasnya untuk teh, tapi kenapa diubah jadi sayuran dengan disewakan ke masyarakat?”

Nandang menuduh PTPN juga menyewakan sebagian lahan mereka kepada warga di luar Desa Cikandang dan Margamulya.

"Kenapa orang bisa menggarap, sementara saya tidak? Ada yang dari luar kecamatan dan desa. Sedangkan saya [tinggal] di area situ, kok gak boleh?" tanyanya.

“Saya orang awam. Saya cuma memanfaatkan saja karena mlihat tanah itu sudah terlantar puluhan tahun, satu kilometer dari rumah saya,” kata Pakih, yang mengatakan telah menggarap lahan di Blok Gedong I, Desa Margamulya, selama lebih dari satu tahun.

Sementara itu, PTPN VIII menolak klaim petani yang menyebut lahan mereka terlantar. Blok Cipancur 6 yang diperkarakan itu, kata Didik Prasetyo, masih produktif. Meski, ia menyebut, beberapa area perkebunan “gulmanya banyak, sehingga masyarakat menebang”.

Baca juga: Cegah Konflik Agraria di IKN Nusantara, Ini Langkah Pemerintah

“Ada sebagian yang karena keterbatasan, biaya pemupukannya kurang, jadi seolah-olah terlantar. Padahal memang itu menunggu perbaikan, ada rotasinya sesuai dengan kemampuan keuangan kita,” sebut Didik.

Hak Guna Usaha Kebun Cisaruni PTPN VIII seluas 1.625,23 hektare, menurut perusahaan perkebunan ini, 95% terdiri dari tanaman teh, kekayuan, areal cadangan untuk penanaman selanjutnya, dan fasilitas pendukung berupa fasilitas sosial dan umum.

Sisanya, sebesar 5% merupakan "areal Pemberdayaan Masyarakat Desa Sekitar Kebun (PMDK) dan garapan tanpa izin", menurut pernyataan tertulis PTPN VIII kepada BBC Indonesia.

Penampakan lahan milik PTPN VIII lain yang tak terurus juga terlihat di Blok Jengkot 1 Desa Margamulya, Kecamatan Cikajang, Garut.

Saat wartawan Yuli Saputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia datang ke lokasi, tidak ada lagi tanaman teh di blok tersebut.

Lahan telah dipenuhi semak belukar dan tumbuhan liar. Tak jauh dari situ, berdiri pabrik pengolahan teh Perkebunan Cisaruni. Jalan menuju pabrik merupakan jalan berbatu dan tanah merah yang licin saat hujan turun.

Baca juga: Ikut Demonstrasi, Mahasiswa di Lampung Fokus Isu Lokal Konflik Agraria hingga BBM

Tidak ada aktivitas di pabrik itu. Warga menyebut pabrik tutup sekitar tahun 2000-an. Bangunan pabrik yang merupakan peninggalan kolonial Belanda itu telah rusak, atapnya hilang, hanya menyisakan puing-puing

“Besi-besi bangunannya banyak yang ngambil,” kata warga setempat yang menolak menyebutkan namanya.

Pemuda berusia 29 tahun ini sama sekali tidak pernah melihat pepohonan teh tumbuh lestari di Blok Jengkot 1. Sejak lahir di 1994, ia melihat lahan itu sudah menjadi semak belukar.

"Blok Jengkot 1 ini masih mending dibanding Blok Gedong 3 dan Jengkot 3 yang sudah jadi hutan belantara, gelap," ungkap warga Desa Margamulya ini.

Sejumlah blok lain juga telah berubah menjadi semak belukar, yakni Jengkot 2, Gedong 1, dan Gedong 2. Menurut warga, perkebunan teh di kawasan tersebut mulai terlantar sejak 1995.

Baca juga: Konflik Agraria Desa Wadas

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com