Darul Islam juga berkembang menguasai sepertiga Jawa Barat, bahkan melancarkan serangan sampai ke pinggiran Jakarta selama tahun 1950-an.
Untuk menanggulangi pemberontakan ini, pemerintah RI kemudian mengeluarkan peraturan No. 59 Tahun 1958 yang berisikan penumpasan DI/TII.
Salah satu caranya adalah dengan menurunkan pasukan Kodam Siliwangi dan memberlakukan taktik Pagar Betis dengan memanfaatkan tenaga rakyat guna mempersempit ruang gerak DI/TII.
Selain taktik Pagar Betis, Kodam Siliwangi juga melakukan Operasi Brata Yudha yang dilakukan untuk menemukan tempat persembunyian Kartosoewirjo.
Setelah melalui berbagai rintangan, akhirnya Kartosoewirjo berhasil ditangkap hidup-hidup.
Pada akhirnya, Kartosuwiryo berhasil dibekuk oleh pemimpin Kompi C Batalyon 328 Kujang II/Siliwangi, Letnan Suhanda.
Tertangkapnya Kartosoewirjo ini menjadi awal mula padamnya Pemberontakan DI/TII, karena setelah itu banyak pengkutnya yang memutuskan untuk menyerah.
Pemberontakan Kartosoewirjo dipimpin oleh sosok Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang juga membentuk Negara Islam Indonesia (NII).
Kartosoewirjo lahir di Cepu, 7 Januari 1905. Ia merupakan putra dari Kartodikromo, seorang lurah di Cepu, sebuah kecamatan di Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah.
Penerapan Politik Etis (Politik Balas Budi) membuatnya mendapat kesempatan untuk bersekolah di pendidikan modern ini berkat kedudukan sang ayah yang saat itu cukup penting.
Sewaktu menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) di Bojonegoro, ia bertemu dengan Notodihardjo, seorang tokoh Islam modern yang beraliran Muhammadiyah yang kemudian menanamkan pemikiran Islam modern ke dalam pikiran Kartosoewirjo.
Setelah lulus dari ELS, pada tahun 1923, Kartosoewirjo melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi Kedokteran Nederlands Indische Artsen School.
Selama bersekolah di sana, ia bergabung dengan organisasi Syarikat Islam yang dipimpin HOS Tjokroaminoto. Bahkan Soekarno dan Kartosoewirjo disebut sebagai sahabat dekat yang sama-sama berguru kepada HOS Tjokroaminoto.
Namun ketertarikannya pada dunia politik, membuat Kartosoewirjo dikeluarkan dari Nederlands Indische Artsen School pada tahun 1927 karena dianggap sebagai aktivis politik serta memiliki buku sosialis dan komunis.
Ia kemudian bekerja sebagai pemimpin redaksi koran harian Fadjar Asia.
Kariernya pun kian melejit setelah ia bergabung dalam Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), menjabat sebagai sekretaris jenderal.